Oleh karena itu dibutuhkan
kesediaan pengelola pesantren dalam merencanakan strategi yang tepat akan
menentukan prospeknya di masa mendatang. Peluang dan kekuatan yang dimiliki pesantren
dalam menjawab tantangan zaman adalah keniscayaan yang mesti jadi bahan
perhatian para pengelola pesantren.
Pesantren selanjutnya diharapkan
tidak hanya mencetak ulama-ulama di bidang agama saja tetapi juga dituntut
untuk memberi bekal kemampuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perubahan ini menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan
modernisasi dan inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan zaman.
Jika pesantren mampu menjawab tantangan itu, maka eksistensinya akan tetap
aktual sebagai benteng pertahanan utama peradaban Islam kini dan sekaligus
menentukan prospek perkembangannya pada masa yang akan datang.
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa
tantangan yang dihadapi oleh pesantren dalam hal ini: satu, sistem kurikulum dari
pesantren yang akan didirikan mesti lebih modern dari pesantren tradisional
kebanyakan, sehingga pesantren ketinggalan jauh dari sekolah umum; dua, kurangnya
anggaran dan sumber pendanaan disebabkan oleh kurang siswa perlu dicarikan
solusinya; dan tiga, perlu strategi promosi yang efektif dalam mendekati
sebagian orang tua tidak tertarik menyekolahkan anak di pesantren.[1]
Menjawab Tren
Diakui oleh
para ahli sejarah bahwa lembaga pendidikan Islam pertama yang didirikan di
Indonesia dan masih bertahan sampai sekarang adalah dalam bentuk pondok
pesantren. Dengan karakternya yang khas dengan orientasi religus, pesantren
telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri
tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk
menyebarkan dan mempertahankan Islam.
Pada awal
berdirinya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat sederhana. Tidak
ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di
dalamnya. Dalam praktik pembelajarannya, semuanya bergantung pada kyai sebagai
poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitab
yang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kyai secara penuh.[2]
Dalam sejarah
perkembangan pesantren, disebutkan pula bahwa mulanya pondok pesantren masih
berbentuk surau, dan yang pertamakali membuka pendidikan formal adalah Tawalib
di Padang Panjang pada tahun 1921, sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu
Ireng Jombang pada tahun 1919 menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada
tahun 1926.[3]
Hal tersebut
memberikan gambaran bahwa dalam tubuh pondok pesantren sejak dahulu telah ada
upaya untuk mengikuti perkembangan zaman dengan membuka pendidikan formal yang
merupakan cikal bakal serta ciri pendidikan modern. Membuka diri untuk menerima
modernisasi bagi lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren adalah satu
hal yang tidak dapat dihindari. Seiring dengan perkembangan zaman pondok
pesantren dituntut untuk mengikuti dinamika perubahan yang begitu kompleks.
Pesantren selanjutnya diharapkan tidak hanya mencetak ulama-ulama dibidang
agama yang akan berperan aktif dalam penyebaran agama Islam tetapi lebih dari
itu juga dituntut untuk memberi bekal kemampuan dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Perubahan ini
menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan modernisasi dan
inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan global. Jika
pesantren mampu menjawab tantangan itu, maka eksistensinya akan tetap aktual
sebagai benteng pertahanan utama peradaban Islam kini dan sekaligus menentukan
prospek perkembangannya pada masa yang akan datang. Proses perubahan yang
terjadi di berbagai pondok pesantren pasca abad ke-19 pada dasarnya merupakan
upaya pesantren secara perlahan-lahan dalam rangka membuka diri bagi masuknya
modernisasi.
Modernisasi
dalam tubuh pesantren berarti sebuah proses menuju perubahan. Modernisasi dapat
diartikan sebagai suatu proses perubahan sikap dan mentalitas sebagai warga
masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.[4]
Tantangan zaman modern pada hakekatnya adalah tantangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pada masa awalnya implikasi dari kemodernan itu jelas positif, yaitu
berupa kemajuan-kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam dunia pesantren, wawasan santri terhadap dunia luar kian terbuka.
Pesantren bukan lagi komunitas eksklusif seperti dirasakan pada zaman-zaman pra
kemerdekaan, namun setelah masa kemerdekaan hingga dewasa ini telah banyak
lulusan output dari pesantren yang telah memiliki bekal untuk melakukan
pembaharuan-pembaharuan pemikiran baik di dalam pesantren maupun di luar
pesantren.
Di tengah
harapan dan tuntutan yang begitu tinggi bagi pondok pesantren, untuk menyambut
modernisasi kelembagaannya yang tidak kunjung berakhir, dihadapkan pula
implikasi negatif kemoderenan berupa merosotnya nilai-nilai kehidupan rohani,
tercabutnya budaya-budaya lokal, dan degradasi moral (terutama) yang melanda
generasi muda. Dampak sistemik lainnya adalah terjadi kemerosotan terhadap
kualitas output produk sistem pesantren, termasuk terjadinya kelangkaan out put
yang dapat disebut ulama dengan predikat sebagai “Pewaris Nabi” (warastsatul
Anbiya).
Kini,
sebagaimana tren yang telah disinggung di muka, minat terhadap pesantren
semakin menurun. Hal ini selayaknya menjadi perhatian dari sebagian pesantren
untuk berdamai dengan perubahan. Kini, tantangannya adalah pesantren selayaknya
tidak lagi hanya sebagai lembaga yang kaku dan melulu mengkaji kitab-kitab
klasik. Akan lebih baik, jika pesantren saat ini juga turut serta membangun
kehidupan masyarakat sekitar, tidak hanya dalam bidang keagamaan tapi juga hal
lain misalnya ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik. Jika ini mampu
dilakukan, tentu saja pesantren akan tetap eksis sampai kapanpun dalam kondisi
yang bagaimanapun.***
[1] Yunus, “Prospek Pengembangan Pondok Pesantren Kecamatan Malangke Kabupaten Luwu”, Jurnal Ilmiah Iqra’, Volume 12 Nomor 2 2018, 88-105.
[2] Haedari, A., & Dkk. (2004). Panorama Pesantren dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka.
[3] Zuhairini. (2002). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[4] Dalyono, M. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.