Pasal 1 ayat (1) UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan tentang definisi pers:
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Sementara pada Pasal 1 ayat (2) disebutkan: "Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi."
Membaca kedua ketentuan dalam UU
Pers tersebut maka posisi pers mahasiswa memang tak bisa sepenuhnya disebut
sebagai badan usaha pers. Karena itu, payung eksistensial pers mahasiswa
menurut saya tak bisa keluar dari badan hukum di kampus yang dianut atau
organisasi mahasiswa yang mewadahinya.
Lepas dari persoalan eksistensial
pers mahasiswa, saya melihat saat ini semestinya manajemen pers mahasiswa
merupakan hasil transformasi sosial dan politik kehidupan pers mahasiswa; dari
semula hanya berorientasi sekadar kekuatan pengontrol kebijakan kampus dan
non-kampus yang otoritarian, atau dalam konteks HMI sebagai pengontrol
organisasi, melebarkan sayapnya tidak hanya sebagai pengontrol kebijakan kampus
atau organisasi menjadi kekuatan pembangkit kesadaran dan kebutuhan “publik
pembacanya” terhadap aneka kepentingan publik itu sendiri.
Pers mahasiswa juga harus tahu
selera pasar. Itulah juga sebabnya mengapa pers mahasiswa sekarang, perlu
menata dirinya untuk mereorientasikan ke mana dirinya hendak melangkah lebih
jauh. Maka langkah awal yang perlu dan harus dilakukan pengelola pers mahasiswa
generasi sekarang adalah dengan melakukan review atau audit atas
kebutuhan, keinginan, dan kepentingan para pembacanya terhadap kehadiran pers
mahasiswa di masing-masing kampus. Pers mahasiswa karenanya tidak boleh
berjarak dengan pembacanya.
Strategi yang bisa
dipertanggungjawabkan adalah dengan membuat semacam riset apa saja keinginan
dan kebutuhan pembaca tersebut. Biasanya
ini tugas bagian “Penelitian dan Pengembangan (Litbang)” yang idealnya dimiliki
di suatu lembaga pers mahasiswa. Tidak hanya mengurusi penelitian, Litbang juga
harus mengagendakan diskusi rutin yang diikuti selurus pengurus internal
lembaga pers mahasiswa.
Setelah ini, lalu dilakukan reformat atas produk pers mahasiswa.
Dari mulai metode rekruitmen anggota baru, reposisioning
konten dan format penerbitan, hingga reformasi di bidang manajemen administrasi
dan pemasaran.
***
Bukan maksud saya hendak menggiring
pers mahasiswa menjadi sepenuhnya berorientasi kepada pers umum komersial. Tapi
itu penting mengingat reformasi manajemen pers mahasiswa menurut saya menjadi
sangat urgen dewasa ini, yang mana menempatkan posisioning pers mahasiswa secara tepat.
Salah satu “persoalan manajerial”
yang menonjol pada tubuh pers mahasiswa dari dulu yang saya amati (sejak saya
masih mengelola lembaga pers mahasiswa) adalah sulitnya memperoleh kader-kader
yang berkualitas. Pada awalnya, ketika melakukan rekruitmen, tersedia cukup
banyak –bahkan kadangkala terlalu banyak—calon-calon pengurus pers mahasiswa.
Namun seiring perkembangan waktu, jumlah mereka pun semakin menyusut. Inilah
“hukum alam” dalam istilah saya dulu dan kawan-kawan. Acapkali tinggal beberapa
orang saja dari generasi baru ini yang bertahan hingga puncak karier di
kepengurusan pers mahasiswa.
Apa penyebabnya? Apakah pers
mahasiswa sebenarnya telah kehilangan daya tariknya bagi sebagian mahasiswa? Ini
seperti persoalan sederhana. Tapi memiliki efek yang besar bagi pengembangan
artikulasi kehidupan pers mahasiswa di masa depan.
Semestinya, regenerasi para
pengelola pers mahasiswa kini mulai dijadikan perhatian serius oleh pengelola
sekarang, jika tak ingin pers mahasiswa bakal menjadi “fosil dinosaurus”, tinggal
kenangan dalam jangka waktu tak terlalu lama lagi. Pengelola pers mahasiswa
juga mesti bekerja keras menemukan minat setiap generasi baru pers mahasiswa
itu, agar tidak semua kader diarahkan pada bidang redaksi, tapi masih cukup
banyak yang tersisa untuk mengisi bidang-bidang lain yang tak kalah prestisius.
Seperti bidang administrasi, bidang pelatihan dan pengembangan (litbang), serta
bidang usaha (periklanan dan distribusi).
Dalam konstelasi pergerakan, pers
mahasiswa seringkali menjadi satu kesatuan dari pergerakan mahasiswa. Nyaris
setiap muncul momentum gerakan mahasiswa, elemen-elemen pers mahasiswa
memberikan support yang penting.
Melalui gagasan-gagasan yang disampaikannya, ia turut menggelorakan momentum
pergerakan tersebut untuk turut bersama meraih satu tujuan tertentu.
Bagaimana seandainya momentum
gerakan sedang tidak berkembang? Apa yang harus dilakukan pengurus pers
mahasiswa untuk menjaga ritme dinamika organisasinya? Postur dan potret
organisasi pers mahasiswa dalam hemat saya tidak memiliki standar yang baku.
Setiap organisasi pers mahasiswa bisa mendesain struktur organisasinya sesuai
kebutuhan di setiap kampus/ atau organisasi yang mewadahinya. Karakter setiap
kampus/ organisasi akan menentukan corak dan struktur organisasi tersebut. Di
kampus/ organisasi yang cenderung konservatif pemimpinnya, tentu akan
memberikan ruang tumbuh yang berbeda dengan di kampus/organisasi yang
pemimpinnya lebih bergaya progresif.
Satu hal yang menarik, model
organisasi pers mahasiswa memungkinkan dikembangkannya sikap-sikap egalitarian
dan menyuburkan sifat demokrasi di antara para pengelolanya. Sikap-sikap
otoritarian tidak bisa menemukan ruang untuk hidup di dalam organisasi pers
mahasiswa. Hanya saja, salah satu titik lemah organisasi pers mahasiswa adalah
cara pengelolaannya yang acapkali terlalu bersifat paguyuban. Egalitarianisme
tidak dengan serta merta mesti melarutkan gaya pengelolaan organisasi yang
serius (untuk tidak menyebutnya dengan “profesional”). Hubungan yang terlalu
cair diantara pengelola pers mahasiswa membuat hampir semua urusan bisa
ditoleransi. Akibatnya, sejumlah program yang awalnya biasa dirancang, ternyata
hanya berhenti di atas lembaran-lembaran kertas: “tak kunjung diterbitkan”.
***
Menilik pengalaman semacam ini, di masa mendatang organisasi pers mahasiswa saya kira menjadi miniatur organisasi pers komersial. Posisinya tetap masih menjanjikan. Mengapa demikian? Pasalnya, fakta membuktikan bahwa sampai hari ini pers mahasiswa masih menjadi sumber terbesar pemasok SDM industri pers. Termasuk saat terjadi pergeseran dari pers yang memproduksi tulisan-tulisan yang dicetak, ke tulisan-tulisan yang disebar secara online.***