![]() |
Ilustrasi (Sumber: https://www.kompas.com/tre)n/read/2021/12/17/104500565/profil-soe-hok-gie-aktivis-yang-meninggal-di-semeru-16-desember-1969?page=all |
Gie adalah adik dari Arief Budiman (lahir dengan nama Soe Hok Djin), doktor alumnus Universitas Harvard AS, dan dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal sebagai seorang akademisi, sosiolog, pengamat politik dan ketatanegaraan yang kini bermukim di Australia. Kebiasaan membaca ataupun menulis berlangsung hingga SMP bahkan sampai kuliah. Kebiasaannya yang kutu buku tersebut tampaknya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sikapnya dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya, semakin besar ia semakin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena dari seorang guru. Suatu ketika Gie pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Sang gurupun kemudian marah sehingga di dalam catatan hariannya yang kemudian menjadi buku tersebut, Gie menulis, “Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” Sikap kritis Gie adalah buah dari bacaannya yang ternyata jauh lebih banyak daripada gurunya ketika itu.
Belajar dari Gie, membaca buku dapat menjadikan seseorang merasa percaya diri. Ini terjadi karena kepalanya terasa seperti telah terisi oleh berbagai pengetahuan. Apalagi jika kita mampu menuangkan hasil bacaan dan pemahaman kita ke dalam sebuah tulisan. Bahwa budaya lokal kita adalah budaya lisan, bukan budaya tulis, tak bisa kita bantah. Hal itu membuat penyimpanan informasi, gagasan, dan pengetahuan hanya terjadi di dalam “ingatan”. Isi ingatan itulah yang ditransmisikan ke pihak lain yang belum mendapatkannya. Terkadang, kisah-kisah hikmah atau sumber informasi hanya dipegang oleh seorang yang mempunyai posisi khusus dalam masyarakat kita, yang berfungsi sebagai sumber kebenaran. Ignas Kleden menyebut budaya itu sebagai kelisanan primer (primary orality), di mana masyarakat kala itu belum mengenal baca-tulis. Namun, karena ingatan bersifat terbatas, tidak semua informasi yang dibutuhkan bisa ditransmisikan lisan secara sempurna. Budaya cetak baru memasuki Indonesia sekitar abad ke-20, saat tradisi lisan masyarakat kita masih berakar kuat. Jika dihitung usianya, kebiasaan baca-tulis yang, antara lain, ditandai oleh masuknya budaya cetak masih sangat muda. Budaya cetak telah mendorong kemampuan masyarakat untuk bersinggungan lebih luas dengan apa yang ada di luar kediriannya dan kedirian kolektifnya. Tentu saja itu akan sangat membantu untuk mendapatkan informasi dari luar yang bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki tatanan kehidupan. Itu sekaligus membuktikan betapa baca-tulis merupakan kendaraan menuju perbaikan peradaban.
Sayangnya, meski sudah disadari sedemikian pentingnya budaya baca-tulis, toh tingkat kesadaran baca-tulis masyarakat kita masih rendah. Masyarakat kita lebih suka mendapatkan informasi dari media elektronik, terutama televisi. Kesimpulannya, masyarakat lebih suka mendapat informasi yang “dibacakan”, sehingga penonton hanya berlaku sebagai “pembaca pasif” yang dengan tenang mengunyah dengan renyah segala persepsi yang dikemukakan di televisi. Fenomena itu disebut Ignas Kleden sebagai kelisanan sekunder (secondary orality). Budaya kelisanan sekunder tersebut menggambarkan bahwa kemampuan baca-tulis tidak terlalu dibutuhkan karena sumber informasi lebih bersifat audio-visual.