Beririsan dengan ini, Djohar menyebut bahwa seorang
guru mestinya kompeten mengajar pada mata pelajaran yang diamanahkan kepadanya
untuk diajarkan, professional dalam menjalankan kewajibannya, terampil dalam
melaksanakan tugas kesehariannya, dan kompeten baik dari sisi professional, pedagogik,
personal maupun sosial.(Djohar, 2006, hlm. 11–12) Guru agama Islam pun demikian. Tanpa memiliki
kompetensi yang baik dalam soalan ini, tidak mungkin guru memiliki kinerja yang
baik.(Sulthon, 2015, hlm. 129)
Kecuali persyaratan di atas, seorang guru agama Islam dalam
menjalankan aktifitasnya mesti didasarkan pada ketulusan. Dengan ketulusan,
seorang guru akan betul-betul peduli – tanpa rekayasa – sungguh-sungguh mendidik
untuk membangun karakter dari siswa-siswanya. Dengan ketulusan pula, sebagai
guru agama Islam ia tidak akan mengeluh terhadap keharusan menyiapkan dan
berinovasi dalam hal strategi dan metode dalam rangka optimalisasi hasil
pembelajaran siswa-siswanya pada mata pelajaran agama Islam.
Guru adalah “pendidik professional” dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
menengah.(Sulthon, 2015, hlm.
115–116)
Guru adalah profil yang secara sadar membantu seorang individu untuk berkembang
pengetahuan, pengalaman, dan sikapnya melalui proses yang disebut pendidikan. (Uno, 2007, hlm.
15)
Berdasarkan ini, guru mempunyai tanggung jawab menjadikan
siswa-siswanya berpengetahuan/ berwawasan dan bermoral/berperilaku positif
sejalan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Dalam konteks
membekali siswa dengan pengetahuan dan pengalaman terhadap kebutuhan inilah,
seorang guru selayaknya bisa bersikap tulus untuk mengayomi dan memperlakukan
siswa-siswinya dengan baik dengan penuh kesabaran. Sebab banyak dari guru yang
hanya memindahkan pengetahuannya kepada siswa-siswanya, sementara tidak begitu
memperhatikan pentingnya menanamkan nilai-nilai dan membangun karakter. Betul
bahwa salah satu tugas dari guru adalah mengajar, tetapi dalam proses
pembelajaran tidak selayaknya hanya fokus pada kecerdasan kognitif siswa,
melainkan juga penting memperhatikan sisi afektif dari siswa sehingga
diharapkan siswa-siswa yang belajar bisa memiliki kepekaan budi dan hati nurani.(Sulthon, 2015,
hlm. 117) Atau
dengan kata lain, kecuali memiliki kecerdasan kognitif juga memiliki kecerdasan
sosial. Guru agama Islam pun selayaknya demikian. Tekanannya tidak hanya pada
upaya mencerdaskan siswa secara kognitif (yang berarti siswa tahu dan paham
akan agama Islam yang ia pelajari) tetapi juga memiliki kecerdasan sosial
(mampu mengamalkannya dalam ranah sosial-kemasyarakatan).
Peran
Fungsional Guru Agama Islam yang Ditagih Darinya
Setelah memiliki persyaratan sebagai guru, sadar terhadap tugasnya
sebagai guru, seorang guru agama Islam selayaknya mampu memerankan secara
fungsional sekurang-kurangnya dua belas peran sebagai berikut: satu, sebagai
manajer pendidikan atau pengorganisasian kurikulum; dua, sebagai fasilitator
pendidikan; tiga, pelaksana pendidikan; empat, pembimbing dan supervisor; lima,
penegak disiplin; enam, menjadi model perilaku yang akan ditiru siswa; tujuh,
sebagai konselor; delapan, menjadi penilai; Sembilan, petugas tata usaha
tentang administrasi kelas yang diajarnya; sepuluh, menjadi komunikator dengan
orang tua siswa dan masyarakat; sebelas, sebagai pengajar untuk meningkatkan
profesi secara berkelanjutan; dan dua belas, menjadi anggota dari organisasi
profesi pendidikan. (Pidarta, 1997,
hlm. 279)
Sebagai manajer pendidikan atau pengorganisir kurikulum, seorang
guru agama Islam melakukan pengelolaan pembelajaran melalui penerapan kurikulum.
Sebagai guru agama Islam tentu ia memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan
materi pelajaran dan bertindak sejalan dengan keilmuannya, namun juga harus
sesuai dengan pedoman kurikulum meskipun dituntut kemampuannya dalam
mengembangkannya. Sebagai fasilitator pendidikan, seorang guru agama Islam akan
melakukan perubahan-perubahan dalam pembelajaran yang dilakukan oleh siswa.
Sebagai pelaksana pendidikan, guru agama Islam sama dengan guru-guru lainnya
bertindak sebagai agen pelaksana pembelajaran, administrasi pembelajaran, dan
mengevaluasi hasil belajar siswa sebagai wujud nyata keberhasilan pelaksanaan
pembelajaran pada mata pelajaran agama Islam. Sebagai pembimbing atau
supervisor, guru juga mesti bisa memberikan bimbingan dan pengawasan pada siswa
sehingga perkembangan siswa bisa berkembang baik. Sebagai penegak disiplin,
guru agama Islam perlu menegakkan disiplin dan bisa diteladani oleh
siswa-siswinya dalam hal bersikap disiplin. Guru agama Islam juga selayaknya
bisa menjadi model yang diteladani oleh siswa-siswinya. Sebagai konselor, guru agama
Islam mesti juga mampu mengatasi masalah-masalah siswa terutama masalah-masalah
yang menghambat optimalisasi hasil positif dalam pembelajaran agama Islam.
Sebagai penilai, guru agama Islam dituntut mampu melakukan penilaian, terutama
seberapa mampu siswa-siswinya menyerap pembelajaran yang ia berikan. Penilaian
ini perlu dilakukan sebagai umpan-balik. Sebagai tata usaha, guru agama Islam
maksudnya penting untuk mengadministrasikan semua bukti administratif pembelajaran,
yang kemudian akan ia manfaatkan sebagai pelaporan pertanggung jawaban seputar
tugas keguruan yang diamanahkan kepadanya. Sebagai komunikator dengan orang tua
dan masyarakat, maksudnya bahwa guru agama Islam mesti bersedia memberikan
informasi atas kemajuan dan keberhasilan selama pembelajaran dalam bentuk
laporan hasil belajar yang ia sampaikan pada wali kelas, dan wali kelas
membubuhkannya ke rapor yang diterima oleh orangtua/wali siswa. Hal ini juga
sebagai bentuk tanggung jawab sekolah kepada masyarakat sebagai stakeholder.
Guru agama Islam juga mesti berperan terhadap upaya peningkatan kualitas
kompetensinya, sebab kualitas kompetensinya ini jelas baik langsung atau tidak
langsung akan berdampak pada materi dan optimalisasi pembelajaran yang ia
berikan. Terakhir, guru agama Islam sangat penting bergabung ke dalam organisasi
profesi. Hal ini karena organisasi ini akan melindungi hak-haknya sebagai guru.
Dalam pendidikan agama Islam, guru agama Islam juga menjadi ujung
tombak keberhasilan pendidikan agama Islam. Sebab, tanpa guru agama Islam
takkan ada pembelajaran agama Islam yang dapat berlangsung. Sebab itu,
selayaknya persyaratan, ketentuan dan peranan di atas bisa jadi bahan
perhatian, khususnya oleh calon-calon guru agama Islam dan/atau mereka yang
saat ini telah berprofesi sebagai guru agama Islam.***
Bahan
Bacaan
Djohar. (2006). Guru,
Pendidikan dan Pembinaannya: Penerapannya dalam Pendidikan dan Undang-Undang
Guru. Yogyakarta: Gravika Indah.
Pidarta, M. (1997).
Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sulthon. (2015).
Konsep Guru yang Menginspirasi dan Demokratif. Elementary, 3(1),
115–134.
Uno, H. B. (2007). Profesi
Kependidikan: Problema, Solusi, dan Reformasi Pendidikan di Indonesia (Cet.
1). Jakarta: Bumi Aksara.