Kartini Kartono
membagi pandangannya tentang ini. Menurutnya, pemimpin adalah seseorang yang
memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan yang
memungkinkannya dapat mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama
melakukan aktifitas-aktifitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa
tujuan.[2]
Kepemimpinan merupakan
motor atau daya penggerak dari semua sumber-sumber daya dan alat yang tersedia
di suatu lembaga. Dalam konteksnya di madrasah, kepemimpinan pendidikan bisa
dipahami sebagai kemampuan kepala madrasah untuk mendorong atau mempengaruhi bawahan
yang dipimpinnya, baik itu guru, staff tata usaha, dan unsur-unsur lain yang
ada di madrasah, dalam pencapaian visi, misi dan tujuan madrasah secara efektif
dan efisien. Almaydza Pratama Annisa berpendapat bahwa seorang pemimpin memang
selayaknya memiliki kekuasaan untuk mengarahkan dan mempengaruhi seluruh
bawahannya, sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan mereka.[3]
Namun demikian,
kepemimpinan ini bukan semata-mata bakat saja. Kepemimpinan adalah masalah
relasi dan pengaruh antara “pemimpin” dan “yang dipimpin”. Kepemimpinan
tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi alamiah antara
pemimpin dan yang dipimpinnya, yang mengasah kemampuannya dalam mengajak,
mempengaruhi, dan menggerakkan orang lain yang dipimpinnya guna melakukan
sesuatu demi pencapaian satu tujuan atau beberapa tujuan tertentu.[4]
Kepemimpinan pendidikan pun bisa terbentuk secara alamiah, yang muncul muncul
dan berkembang sebagai hasil dari interaksi alamiah antara pemimpin di suatu
lembaga pendidikan dengan yang dipimpinnya, yang mengasah kemampuannya dalam
mengajak, mempengaruhi, dan menggerakkan orang lain yang dipimpinnya guna
melakukan sesuatu demi pencapaian satu tujuan atau beberapa tujuan tertentu. Termasuk
dalam konteks ini di madrasah.
Kemampuan seorang
kepala madrasah untuk mempengaruhi orang lain biasanya didukung oleh kelebihan
yang dimilikinya, baik yang beririsan dengan kepribadiannya yang positif maupun
keluasan pengetahuan dan pengalamannya yang mendapat pengakuan dari yang dipimpinnya.
Madrasah yang efektif dapat terwujud manakala kepemimpinan yang diterapkan di
madrasah tersebut berhasil memberdayakan guru, staff tata usaha, dan
unsur-unsur lain yang ada di madrasah. Begitu pula sebaliknya, madrasah yang
tidak efektif manakala kepemimpinan yang diterapkan di madrasah tersebut tidak
berhasil memberdayakan guru, staff tata usaha, dan unsur-unsur lain yang ada di
madrasah.
Di abad 21, masalah
kepemimpinan pendidikan kepala madrasah ini dengan demikian penting
diperhatikan. Kepala madrasah adalah seorang pemimpin di lembaga pendidikan
yang bernama madrasah, yang memiliki tugas untuk memimpin pelaksanaan
fungsi-fungsi manajerial kelembagaan, seperti perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, pengawasan, dan penyelesaian seluruh aktifitas atau program
di madrasah dalam rangka pencapaian visi, misi dan tujuan. Oleh karena itu, di abad
21 ini, seturut dengan kebutuhan abad ini beserta konsekuensinya, menagih
hadirnya kualitas kepala madrasah yang karismatik dan berkualitas. Bahkan, bisa
dikatakan kunci keberhasilan pendidikan di madrasah pada hakikatnya ditentukan
oleh efisiensi dan efektifitas kepemimpinan pendidikan kepala madrasah, dan
demikian pula sebaliknya.[5]
Tren Abad 21 dan Model Kepemimpinan
Pendidikan yang Relevan Bagi Madrasah
Dewasa ini kita hidup
di abad 21 dengan beserta konsekuensinya. Ciri abad 21 salah satunya ditandai
dengan tren globalisasi yang meniscayakan terjadinya interdependensi, yaitu
keadaan “saling bergantung” dengan dukungan kecanggihan sarana berinteraksi dan
berkomunikasi. Oleh sebab itu, setiap kelembagaan yang ada di abad ini menjadi
niscaya baginya untuk menyesuaikan dengan kebutuhan abad ini, tak terkecuali di
bidang pendidikan.[6]
Di abad 21, pergeseran
kebutuhan bidang pendidikan jelas perlu diikuti oleh perubahan model
kepemimpinan pendidikan. Kaitannya dengan ini, akan sangat positif jika relasi
atasan dan bawahan di suatu lembaga pendidikan, dalam kaitannya dengan ini
bergeser dari yang semula modelnya otoriter menuju model kepemimpinan yang demokratis.
Pada kepemimpinan yang otoriter, semua kebijakan dasar diputuskan oleh pimpinan
sendiri dan pelaksanaan selanjutnya didelegasikan kepada bawahannya. Seluruh
perintah dan/atau delegasi tugas, semuanya dilakukan tanpa meminta persetujuan
dan pertimbangan dari bawahan yang dipimpinnya. Pemimpin yang menganut model
ini mengasumsikan bahwa maju mundurnya lembaga yang dipimpinnya bergantung pada
dirinya. Adapun model kepemimpinan demokratis, memungkinkan terwujudnya
atmosfer yang demokratis dalam hubungan pimpinan dan yang dipimpin. Pada model
kepemimpinan ini, seorang pemimpin biasanya akan mengikutsertakan seluruh
individu yang dipimpinnya dalam pengambilan putusan. Dalam konteksnya di
lembaga pendidikan, sebutlah di madrasah, kepala madrasah yang menganut model
kepemimpinan ini akan selalu menghargai pendapat yang dipimpinnya, apakah itu
guru-guru, staff tata usaha, dan unsur-unsur lain di madrasah, dalam rangka
mengajak bersama-sama dalam memajukan mutu pendidikan di lembaga yang
dipimpinnya.[7]
Berdasarkan paparan di
atas, jelas bahwa pada model kepemimpinan yang sifatnya otoriter, seringkali
menempatkan bawahan sebagai semata-mata pesuruh yang tidak punya kuasa apapun.
Pada model kepemimpinan semacam ini rentan mengakibatkan terbelenggunya
kemampuan bawahan dalam melakukan inovasi dan berkreasi terhadap pekerjaannya.
Konsekuensinya, mereka akan bekerja cenderung apriori, pragmatis, dan bertindak
atas dasar suruhan dari atasan saja, serta minim inisiasi. Dengan kondisi
demikian, jelas ini akan menjadi “batu sandungan” terhadap pencapaian
tujuan-tujuan pendidikan.[8]
Dalam konteks
kepemimpinan pendidikan di madrasah pun hal ini relevan. Model kepemimpinan
yang demokratis perlu diwujudkan dalam konteksnya di madrasah, sehingga terjadi
proses pemberdayaan. Larry Lashway yang dirujuk Isti Fatonah dalam publikasinya
menyinggung seputar facilitative leadership yang menekankan pada aspek collaboration
dan empowerment dalam kepemimpinan.[9]
Dua kata kunci ini, mempertegas bahwa kepemimpinan yang relevan dibangun adalah
kepemimpinan demokratis yang menekankan penting saling berkolaborasi dan
memberdayakan. Sebab, pencapaian tujuan pendidikan tidak boleh lagi
diterjemahkan sebagai karya perseorangan, namun buah dari hasil team work yang
telah bekerja keras dan cerdas dalam mencapainya.
Pada model
kepemimpinan demokratis, bahkan diharapkan seorang pemimpin sebagai atasan
dapat mendorong seluruh bawahannya untuk mampu memberdayakan diri mereka
sendiri dan membagun perasaan bertanggung jawab terhadap pekerjaan-pekerjaan
yang diembannya. Pemberdayaan sendiri pada hakikatnya adalah proses
“pemerdekaan”, yang mana setiap individu dinilai sebagai sosok manusia yang
memiliki kemampuan cipta, rasa dan karsa, dan tentu saja jika ketiganya ini
diberi ruang untuk berkembang selayaknya akan menjadi kekuatan tersendiri dalam
kerja-kerja memajukan lembaga. Termasuk, dalam konteks ini madrasah sebagai
lembaga pendidikan.
Sebabnya karena,
kemampuan cipta, rasa dan karsa setiap individu pengelola pendidikan di
madrasah yang mendapat ruang untuk berkembang, berkonsekuensi pada ruang yang
lebih terbuka dalam pengambilan putusan-putusan yang strategis di madrasah.
Semua individu bisa terlibat dalam pengambilan putusan. Sehingga pada
gilirannya juga akan terbentuk rasa tanggung jawab bersama dalam memajukan
pendidikan madrasah, oleh karena semua individu telah dilibatkan baik dalam
pengambilan putusan maupun kesempatan berpartisipasi.
Paul M. Terry yang
dikutip Isti Fatonah, mensinyalir tentang bagaimana untuk dapat memberdayakan
semua bawahan yang ada di lembaga pendidikan, maka seorang pimpinan sebagai
atasan (jika di madrasah kita menyebutnya: kepala madrasah), seyogyanya bisa
menciptakan atmosfer kerja yang kondusif terhadap pemberdayaan, seperti
menunjukkan idealisme terhadap bawahan dan mengapresiasi setiap bentuk usaha
positif yang dilakukan oleh bawahan dalam pencapaian tujuan. Pandangan ini
jelas menunjukkan bahwa dalam pemberdayaan hal ini tidaklah mudah dan
sederhana, sebab kecuali membutuhkan kerja keras dan pemimpin untuk mendorong
bawahannya menjadi individu-individu yang berdaya, juga perlu membangun
kemitraan untuk memuluskannya. Jika ini berhasil dibangun, selayaknya akan
tumbuh dinamika kerja yang positif, yang didukung oleh pemikiran kreatif dan
inovatif pimpinan dan yang dipimpin (baca: atasan dan bawahan), yang kesemuanya
merasa sebagai mitra dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan dirinya
secara leluasa, tanpa hambatan sosio-psikologis yang membelenggu dalam
pencapaian tujuan. Jelas ini positif bagi atmosfer kerja di madrasah, sebab
semua akan merasa bekerja dengan disertai rasa tanggung jawab.[10]
Kecenderungan ini hanya mungkin terwujud manakala model kepemimpinan yang
dibangun oleh kepala madrasah adalah model kepemimpinan yang demokratis dan
bukannya yang otoriter.
Kaitannya dengan model
kepemimpinan yang demokratis ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang kepala madrasah: satu, kepala madrasah selayaknya lebih banyak
mengarahkan ketimbang memaksa bawahan yang dipimpinnya; dua, kepala madrasah
lebih bersandar pada prinsip kerjasama dalam menjalankan tugas ketimbang
bersandarkan pada kekuasaan yang ia miliki; tiga, kepala madrasah senantiasa
menanamkan kepercayaan pada diri guru, staff tata usaha dan unsur-unsur lain
yang ada di madrasah ketimbang menciptakan rasa takut di tengah-tengah mereka;
empat, kepala madrasah senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu
ketimbang menunjukkan bahwa bahwa ia tahu sesuatu; lima, kepala madrasah
senantiasa mengembangkan suasana antusias dan bukannya mengembangkan suasana
yang menjemukan; dan keenam, kepala madrasah selayaknya bersedia mengevaluasi
atau memperbaiki kesalahannya dan bukannya hanya bisa menyalah-nyalahkan
bawahan yang dipimpinnya, bekerja dengan penuh kesungguhan dan bukannya hanya
mengandalkan bawahan yang dipimpinnya. Agar ini bisa terwujud, Isti Fatonah, menyebutkan
setidaknya enam belas moral positif yang perlu dimiliki seorang pemimpin, tak
terkecuali dalam konteks ini kepala madrasah: satu, memberi contoh; dua,
berorientasi pada kualitas; tiga, bekerja dengan landasan hubungan kemanusiaan
yang baik; empat, memahami masyarakat di sekitarnya; lima, memiliki sikap dan
mentalitas yang baik; enam, berkepentingan dengan unsur-unsur yang dipimpinnya;
tujuh, melakukan kompromi untuk mencapai kesepakatan; delapan, mempertahankan
stabilitas; sembilan, mampu mengelola stress; sepuluh, menciptakan struktur
agar sesuatu bisa terjadi; sebelas, mentolerir adanya kesalahan; dua belas,
tidak menciptakan konflik pribadi; tiga belas, memimpin melalui pendekatan yang
positif; empat belas, selalu mengedepankan musyawarah sehingga tidak terkesan
mendahului dalam pengambilan putusan; lima belas, mudah dihubungi; dan enam
belas, memiliki keluarga yang harmonis sehingga meninggalkan kesan positif di
mata orang-orang yang dipimpinnya.[11]
Dalam model
kepemimpinan demokratis, seorang kepala madrasah hendaknya mampu memerankan
status selayaknya “kepala keluarga” di madrasah. Kepribadian yang dikehendaki
dari kepala madrasah sehubungan dengan hal ini: satu, memiliki integritas,
yaitu mampu bersikap tegas dan jujur, yang tercitrakan dari sifat-sifat
pribadinya maupun dalam moral perilakunya; dua, adil, yaitu kemampuannya untuk
menyikapi secara adil terhadap bawahan yang dipimpinnya tanpa ada diskriminasi;
tiga, kemampuan, yang ditunjukkan dari mampunya ia melaksanakan pekerjaannya
dan membangun relasi dengan bawahan yang dipimpinnya; empat, memiliki intuisi,
yaitu kesediannya untuk bersimpati dan berempati terhadap bawahan yang
dipimpinnya; dan lima, reliabilitas, yaitu kemampuannya untuk bekerjasama
dengan orang lain dalam melaksanakan pekerjaan demi pencapaian tujuan.[12]***
BAHAN BACAAN
Almaydza Pratama Abnisa, “Leadership
dalam Pendidikan”, Jurnal Asy-Syukriyyah, vol. 17, 2016, pp. 32–53.
Fatonah, Isti, “Kepemimpinan Pendidikan”, Jurnal
Tarbawiyah, vol. 10, no. 2, 2013, pp. 109–25.
Indrafachrudi, Soekarto, Pengantar Kepemimpinan
Pendidikan, Surabaya: Usaha Offset Printing, 1983.
Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Pendidikan, Malang:
UIN Maliki Press, 2010.
Rivai, Veithzal and Dedi Mulyadi, Kepemimpinan dan
Perilaku Organisasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Ukas, Maman, Manajemen: Konsep, Prinsip, dan
Aplikasi, Bandung: Ossa Promo, 1999.
[1] Isti Fatonah, “Kepemimpinan Pendidikan”, Jurnal
Tarbawiyah, vol. 10, no. 2 (2013), p. 111.
[2] Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), p. 33.
[3] Almaydza Pratama Abnisa, “Leadership dalam
Pendidikan”, Jurnal Asy-Syukriyyah, vol. 17 (2016), p. 36.
[4] Veithzal Rivai and Dedi Mulyadi, Kepemimpinan
dan Perilaku Organisasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), p. 36.
[5] Fatonah, “Kepemimpinan Pendidikan”, p. 121.
[6] Almaydza Pratama Abnisa, “Leadership dalam
Pendidikan”, p. 32.
[7] Soekarto Indrafachrudi, Pengantar Kepemimpinan
Pendidikan (Surabaya: Usaha Offset Printing, 1983), p. 49; Maman Ukas, Manajemen:
Konsep, Prinsip, dan Aplikasi (Bandung: Ossa Promo, 1999), pp. 262–3;
Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Pendidikan (Malang: UIN Maliki Press,
2010), p. 45.
[8] Fatonah, “Kepemimpinan Pendidikan”, p. 109.
[9] Ibid., p. 110.
[10] Ibid., pp. 110–1.
[11] Ibid., pp. 115–6.
[12] Ibid., p. 120.