Khalifah kedua dalam sejarah umat Islam, yaitu Umar
ibn Khattab, pernah mengatakan, “Didiklah anak-anakmu
itu berlainan dengan keadaan kamu sekarang karena mereka telah dijadikan Tuhan
untuk zaman yang bukan zaman engkau.” Penyataan ini jelas berlaku secara umum pada
semua pendidik, termasuk orang tua dan juga guru yang mestinya bisa berdamai
dengan perubahan. Khususnya guru agama, ini harusnya bisa diperhatikan.
Pada zaman ini, tidak
selayaknya lagi guru agama Islam yang masih sebatas
menekankan pada penguasaan content based (materi pengetahuan),
berlangsung secara teacher-centered (berpusat pada guru), dan
berorientasi pada tujuan yang dirumuskan sepihak oleh mereka sendiri., meskipun
masalah keberhasilan pendidikan bisa dilihat dari banyak faktor, namun sulit
menampik bagaimana kecenderungan ini bisa menyebabkan kegagalan dalam proses
pendidikan.
Jika masalahnya ada pada
kompetensi guru-guru agama Islam, muaranya bisa saja dari tempat
memproduksinya, yaitu pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Program Studi
Pendidikan Agama Islam. Jika sejauh ini guru-guru agama Islam nyaman dengan
model belajar, di mana siswa-siswa mereka “secara pasif” mendengarkan ceramah
mereka (delivery system), atau menghafal materi tertentu, dan
mengerjakan soal-soal pilihan ganda atau esai yang mereka berikan, bisa jadi
itu karena demikianlah mereka pelajari saat mereka kuliah. Mereka terkondisikan
menjadi guru agama Islam yang dominan dalam menentukan materi dan metode
mengajarnya, dan siswa kurang dilibatkan dalam proses belajarnya. Akar
masalahnya, bisa jadi ada pada kurikulum Program Studi Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, yang memproduksi mereka demikian.
Menyadari pentingnya peran fungsional guru agama
Islam dalam optimalisasi pendidikan agama Islam di sekolah, maka pengkondisian
kurikulum yang dicicipi oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam di
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan jadi sebuah keharusan untuk dibenahi. Tidak
hanya tentang bagaimana kurikulum Program Studi Pendidikan Agama Islam di
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan perlu dirancang menjadi solusi atas masalah
di atas, yang juga penting adalah bagaimana kurikulum pada Program Studi bisa
dirancang secara multidispliner, interdisipliner dan bahkan
transdisipliner, yang memungkinkan mahasiswa tidak hanya mendapatkan mata
kuliah yang berhubungan dengan bidangnya tetapi juga mata kuliah lain yang
memperkuat kompetensinya sebagai mahasiswa calon guru pendidikan agama Islam.
Tidak boleh kurikulum dirancang mendikotomikan antara agama dan sains.
Jelas di dalam Islam, tidak dikenal dikotomi
keilmuan. Sebagai pedoman umat Islam, al-Quran juga menguatkan hubungan antara agama
dan sains ini. Al-Quran menyediakan kemungkinan yang
sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang
selanjutnya harus menjadi paradigma dalam menyusun
kurikulum. Pengembangan eksperimen-eksperimen sains yang berdasarkan pada paradigma
al-Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang kemudian dikuasai oleh mahasiswa-mahasiswa Program Studi
Pendidikan Agama Islam yang kelak akan menjadi guru Pendidikan Agama Islam.
Paradigma kurikulum ini dapat menjadi pendorong munculnya
ilmu-ilmu pengetahuan alternatif, yang “mungkin saja” akan
berguna bagi mereka yang hidup di era disrupsi. Dengan
kurikulum yang non dikotomik, yang dirancang secara multisipliner,
interdisipliner dan bahkan transdisipliner, jelas memungkinkan premis-premis normatif al-Quran dapat
dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transedental
al-Quran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan
menjadi paradigma teoritis. Paradigma kurikulum ini akan memberikan kerangka bagi
pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang empiris, dalam artian
sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di
bumi secara umum, dan yang beririsan dengan kemashlahatan umat Islam khususnya.
Maka yang perlu dilakukan dalam merumuskan
kurikulum adalah merekonstruksi pandangan terhadap ilmu-ilmu yang digali dari
sumbernya yang berupa ayat-ayat Al-Qur‘an dan hadits serta ayat-ayat kauniyah,
sehingga dapat Kembali pada kesatuan transdental semua ilmu pengetahuan. Tidak
sekedar terintegrasi melainkan juga terinterkonkesikan antara satu dengan yang
lain. M. Amin Abdullah berpendapat, agar agama dan ilmu terintegrasi dan
terinterkoneksi maka disiplin keilmuan tersebut perlu bekerjasama, saling
tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan. Dengan kata lain, modelnya adalah multidispliner, interdisipliner
dan bahkan transdisipliner.
Usaha untuk membangun kesatupaduan dan keterhubungan antara keilmuan agama dan sains pada kurikulum Program Studi Pendidikan Agama Islam di Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan dalam pengertian ini, maknanya adalah menjadikan keilmuan mengalami
proses objektifikasi di mana keilmuan tersebut dirasakan oleh mahasiswa yang kelak menjadi guru agama sebagai suatu yang natural atau
sewajarnya, bukan sebagai praktik keagamaan. Sementara itu bagi siswanya yang belajar dengannya kelak, bisa tetap menganggapnya sebagai
bagian dari praktik keagamaan dan dinilai sebagai amal ibadah. Ini memungkinkan
ilmu-ilmu dalam agama Islam menjadi rahmat bagi semua orang dan alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Jadi poinnya ada dua, dalam upaya melakukan
pengembangan kurikulum Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan, yaitu: satu, kurikulum hendaknya bisa dirancang tidak an
sich menekankan pada penguasaan content based (materi
pengetahuan), dan jangan pula menkondisikan mahasiswa menganggap pembelajaran
berlangsung secara teacher-centered (berpusat pada guru)
sebagai sesuatu yang baik. Kedua, kurikulum hendaknya bisa dirancang secara
integratif dan interkonektif dalam pengertiannya yang multidisipliner,
interdisipliner dan bahkan transdisipliner.
Jika ini bisa diwujudkan, maka harapan untuk
mewujudkan Program Studi Pendidikan Agama Islam mengarah pada apa yang disebut
Merdeka Belajar Kampus Merdeka bukanlah suatu hal yang mustahil.***