Dehumanisasi jelas mengakibatkan
rusaknya harkat kemanusiaan, mengusik dan mengakibatkan banyak masalah dalam
kehidupan manusia. Dalam sejarah umat manusia di muka bumi, dehumanisasi telah
dipertontonkan oleh Qabil (anak keturunan Adam as.) yang membunuh saudaranya
Habil. Pembunuhan adalah bentuk dari dehumanisasi, oleh karena pembunuhan telah
merenggut hak-hak manusia, yang di antaranya adalah “hak untuk hidup”. Wahbah
al-Zuhaili, seorang ahli fikih mengatakan bahwa pembunuhan sebagai tindakan
yang mematikan nyawa seseorang, atau perbuatan manusia terhadap manusia lain
yang menyebabkan kematian, merupakan perbuatan buruk yang merusak nilai-nilai
kemanusia.[1]
Kecuali itu, gaya hidup manusia
sekarang yang hedonis juga bisa dikategorikan dehumanisme. Sebagaimana
dimafhumi, kaum hedonis seringkali mendewakan kesenangan duniawi dan terkadang
mengabaikan sisi kemanusiaannya, dan bahkan menjadikan sisi kemanusiaannya
tersebut sebagai subordinat dari gaya hedonisme yang mereka anut. Konsekuensi
dari gaya hidup yang hedonistik ini, perlahan tapi pasti menggerogoti
nilai-nilai kemanusiaan dan mengacau harmonisasi kehidupan sosial umat manusia.
Sebab lain, bahwa gaya hidup yang hedonistik mengakibatkan ketimpangan sosial
dan memperlebak jarak stratifikasi sosial di tengah kehidupan umat manusia.
Bentuk lainnya dari dehumanisasi
adalah teralienasinya manusia dari kehidupannya. Di alam modern sebagaimana
saat ini misalnya, dehumanisasi mengakibatkan manusia merasa terasing dari
kehidupan sosial dan budayanya, hilang kepekaan sosial dan budayanya, yang
jelas semakin menjauhkan dirinya dari prinsip-prinsip kemanusiaan yang
bersosial dan berbudaya. Sebagaimana dimafhumi, bahwa manusia disebut manusia,
oleh karena melekat pada dirinya fungsi “makhluk sosial” (homo socius)
dan “makhluk berbudaya” (homo legatus), yang mustahil bisa hidup
sendirian, membutuhkan sosialisasi, serta mewarisi dan mewariskan
kebudayaannya. Keterasingan manusia ini, mencederai harkat kemanusiaannya
sebagai predikat mulia yang melekat era dalam dirinya.
Sebagai lawan kata dari
dehumanisasi ini adalah humanisasi. Humanisasi ini muncul sebagai konsekuensi
dari munculnya humanisme di masa renaissans, yang mengajarkan tentang
pentingnya membumikan ajaran kemanusiaan secara simultan, dan sayangnya menjadi
anti-tesis dari ajaran agama.
Muncul pandangan kala itu yang
menilai agama telah merongrong kebebasan manusia dan akal budinya, dan itu
dianggap pendukung paham ini merusak nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini tidak
mengherankan, sebab humanisme kala itu memang muncul sebagai konsekuensi dari
ajaran filsafat dan sains yang pada masa itu “naik daun”, sehingga muncul
anggapan bahwa agama tidak konkret dan empiris. Hal tersebutlah yang
melatarbelakangi humanisme masa renaisans sebagai humanisme sekuler, yaitu
humanisme yang memisahkan diri dari hal-hal yang bersifat
spiritual-transedental.
Eksistensi humanisme sekuler
beserta dinamikanya berlangsung mulai abad ke 14 hingga awal abad 20, yang
kemudian di awal abad ke 20 lahirlah humanisme jenis baru yang menyandingkan
dan melihat perihal kemanusiaan dengan sudut pandang ajaran agama. Humanisme
pada awal abad 20 menjelma menjadi humanisme religius, yang bersanding mesra
dengan agama. Pada abad ini, muncul sebagai tandingan terhadap cara pandang
humanisme sekuler yang menjauhi agama, yaitu cara pandang humanisme yang
berangkat dari ajaran keagamaan.[2]
Sehubungan dengan humanisme
religius ini, penting bagi kita menelusuri genealoginya, sebab sebagaimana
telah disampaikan, paham ini muncul belakangan setelah masyarakat di awal abad
20 setelah merasa jenuh dengan humanisme sekuler yang menjauhi agama. Secara
kebahasaan (etymology), kata humanisme dibangun dari dua kata (dari
bahasa latin) yang membentuknya, yaitu humanus yang berarti manusia, dan
ismus yang berarti paham.[3]
Dalam Bahasa Inggris, kita mengenal ada istilah “humanism” dan dalam
Bahasa Indonesia “humanisme”, yang dalam Bahasa Arab “insaniyyah”. Sementara jika ditinjau secara istilah (terminology),
bahwa kata humanisme bisa didefinisikan menjadi: satu, paham yang berujuan
menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mengandaikan pergaulan sosial dalam
kehidupan umat manusia yang lebih baik; dua, paham yang menilai manusia sebagai
objek material yang penting untuk dikaji; dan tiga, kemanusiaan.[4]
Berdasarkan definisi terhadap humanisme ini, humanisme adalah paham yang
menjadikan manusia sebagai objek material yang penting menjadi pusat kajian,
dengan lokus perhatian pada ranah kemanusiaan dengan tujuan untuk mewujudkan
cita-cita pergaulan hidup yang lebih baik sesuai dengan harkat kemanusiaannya.
Dalam sejarahnya, humanisme
tercitrakan sebagai salah satu aliran yang muncul di masa zaman renaissans.
Pada masa renaissans, gema humanisme terdengar sangat kencang di suarakan di
penjuru-penjuru benua Eropa. Humanisme menjadi ajaran yang dapat menarik banyak
orang untuk membicarakan, mengkaji, dan mengkampanyekan. Hal ini dapat terjadi,
sebab pada abad pertengahan, yang dikenal dengan abad kegelapan Kristen itu,
humanisme menjadi solusi bagi kegelapan tersebut.[5]
Humanisme kemudian menjadi alasan kebangkitan Barat, terutama di Eropa.[6]
Berangkat pula pada catatan sejarah ini, zaman renaissans adalah milik
humanisme.[7]
Sebagai suatu istilah, humanisme
dikait-kaitkan dengan zaman renaissans, akan tetapi humanisme sebagai
konstruksi filosofis seyogyanya bisa dilacak hingga ke masa filsafat Yunani dan
Romawi kuno. Sebagaimana halnya pada masa Yunani kuno dikenal dengan paidea[8]
yang digadang-gadang dapat mengolah bakat kodrati manusia, serta masa Romawi
kuno beserta gagasannya yang menganggap manusia sebagai animal rationale.
Berangkat dari hal itu, kedua imperium kuno tersebut kemudian menyandang
predikat sebagai peletak dasar humanisme.[9]
Hanya saja, dasar humanisme ini
hingga abad 19, masih diterjemahkan dalam pengertiannya yang sekuler. Walaupun
bisa diakui bagaimana humanisme yang berkembang saat ini (masa renaisans),
telah berhasil melancarkan jalan bagi modernisasi di Eropa.[10]
Namun demikian, renaissans juga telah mendorong berbagai bentuk eksploitasi
terhadap nalar budi manusia, yang di kemudian hari berkonsekuensi pada lahirnya
gerakan-gerakan pencerahan di Eropa. Gerakan-gerakan tersebut, lazim kita ingat
dengan aufklarung (enlightment), hingga revolusi industri yang
terjadi di abad ke 18 di Eropa. Pada periode ini modernisasi melacu demikian kencang,
hingga menyebabkan kemajuan perkembangan Barad dalam berbagai bidang.[11]
Jika humanisme (yang sekuler)
bisa dikatakan muncul sebagai counter attack terhadap paham, pemikiran,
dan ajaran di Eropa kala itu yang ditandai oleh fanatisme terhadap ajaran agama
dan otoritas gereja yang berlebihan, maka humanisme religius bisa dikatakan
muncul sebagai counter attack terhadap paham, pemikiran dan ajaran
humanisme yang berkembang secara sekuler dan menghindari agama.[12]
[1]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islamiy wa Adilatuhu, Jilid 6 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hlm. 217.
[2]
Merujuk ke Bernard Muchland,
humanisme memang bisa diklasifikasikan kepada dua macam: satu, humanisme yang jejaknya
bisa ditelusuri dari Framcis Bacon hingga John Locke dan Adam Smith sampai
kepada Jeremy Bentham serta John Stuart Mill, dekat dengan sains modern,
kapitalisme, dan demokrasi; dan dua, humanisme yang jejaknya bisa ditelusuri
dari para humanis masa renaissans seperti Petrach dan Erasmus, serta berlanjut
pada garis sejarah yang terhubung misalnya dengan pemikir idealis Jerman
Carlyle, Ruskin, dan Matthew Arnold yang tidak menolak religiusitas, dan bahkan
menolak model humanism yang kapitalis di masa itu. Baca: Bernard Muchland, Humanism
and Capitalism: A Survey of Thought on Morality (Washington DC &
London: American Enterprise Institute for Public Policy Research, 1984), hlm.
1-2.
[3]
Zulfan Taufik, Dialektika
Islam dan Humanisme: Pembacaan Ali Shari‘ati (tanggerang Selatan: Onglam
Books, 2015), hlm. 23.
[4]
Muklas Ridoi, “Nilai Humanisme
dalam Qs Al-Balad”, Al-Mada, Volume 6, Nomor 1, 2023, hlm. 49.
[5]
Sebagai pemikiran, paham, dan
ajaran yang lahir di Eropa, pada abad pertengahan, humanism lahir mulanya
sebagai counter attack terhadap fenomena yang terjadi di Eropa kala itu.
Sebagaimana yang terdapat di berbagai literatur tentang Sejarah, Eropa abad
pertengahan dikenal sebagai abad yang fanatic terhadap agama dan tunduk pada
otoritas gereja, dan tenggelam dalam kemunduran, sampai kemudian bangkit
kembali dengan humanisme. M. Basri, Sejarah Eropa (Yogyakarta: Suluh
Media, 2016), hlm. 5.
[6]
Muhaemin Latif, Perkembangan
Teologi Modern (Gowa: Alauddin University Press, 2020), hlm. 15.
[7]
Muliadi, Filsafat Umum
(Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2020), hlm. 209.
[8]
Paidea bisa dipahami sebagai sistem
kehidupan dari umat manusia, yang menjadi pedoman dalam mewujudkan kondisi yang
dianggap ideal bagi umat manusia. Lihat Muklas Ridoi, “Nilai Humanisme…”, hlm.
49.
[9]
F. Budi Hardiman, Humanisme
dan Sesudahnya (Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia, 2012), hlm. 8.
[10]
Baca: Bertrand Russell, History
of Western Philosophy and its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, terj. Sigit
Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, dan Muhammad Shodiq
dengan judul Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosial-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2021), hlm. 651-661.
[11]
Gregor Neonbasu, Sketsa
Dasar: Mengenal Manusia dan Masyarakat (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2020), hlm. 26.
[12]
Muliadi, Filsafat Umum,
hlm. 209.
[13]
Muklas Ridoi, “Nilai Humanisme…”,
hlm. 52.