Sejumlah
hasil penelitian, mengungkap tentang pentingnya pendidikan karakter. Hasil
penelitian Chicago Tribune US Dept of Health & Human Services tentang
faktor-faktor resiko “gagal sekolah” pada anak-anak, senyatanya bukan ukurannya
pada kemampuan kognitif mereka, melainkan psikososialnya (meliputi: kecerdasan
sosial dan emosional), kepercayaan diri, rasa ingin tahu, motivasi, kemampuan mengontrol
diri, tidak sulit berkonsentrasi, adanya kemampuan bekerjasama, mudah bergaul, berempati,
dan tidak memiliki masalah dalam berkomunikasi.
Jika
masyarakatnya berkarakter oleh karena pendidikannya berkarakter, maka efeknya
juga beririsan dengan kemajuan bangsa dan negara ini. Dengan menyadari pentingnya
pendidikan karakter ini, selayaknya ia dapatlah diakses oleh semua anggota
masyarakat di negara ini tanpa terkecuali. Jika tidak, maka dampaknya juga
serius terhadap arah masyarakat, dan lebih luas mempengaruhi kemajuan bangsa
dan negara.
Thomas
Lickona, seorang pakar pendidikan dari Cortland University mencatat setidaknya
sepuluh gejala yang harus diwaspadai akibat dari krisis karakter pada suatu
bangsa atau negara: satu, meningkatnya kekerasan di kalangan generasi muda;
dua, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; tiga, pengaruh peer
group yang kuat dalam tindak kekerasan; empat, meningkatnya perilaku
merusak diri seperti penyalahgunaan narkoba, alkohol dan seks bebas; lima,
semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; enam, etos kerja masyarakat
menurun; tujuh, semakin memudarnya rasa hormat anak muda kepada orang tua dan
guru-guru mereka; delapan, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga
negara; sembilan, membudayanya ketidakjujuran; sepuluh, adanya rasa saling
curiga dan menebar kebencian di antara sesamanya. Tidakkah krisis karakter
sebagaimana diungkap oleh Lickona ini agaknya menjadi kecenderungan di
Indonesia pada saat ini?
Menyadari
tentang ini, pendidikan yang membangun karakter positif adalah sesuatu hal yang
penting diwujudkan di semua lingkungan sosial pendidikan yang ada. Lingkungan
sosial yang penting dalam konteks pendidikan karakter adalah lingkungan sosial
keluarga, kemudian sekolah/perguruan tinggi, dan berikutnya adalah masyarakat.
Lazim ketiga lingkungan sosial pendidikan ini disebut dengan tripusat
pendidikan karakter.
Di
lingkungan sosial pendidikan keluarga, pendidikan karakter bisa diwujudkan oleh
orang tua dengan menunjukkan kasih sayangnya pada anak-anaknya. Sebab dengan
modal dasar berupa “kasih dan sayang” ini, anak-anak akan merasa disayangi dan
menyayangi keluarganya, dan kemudian dengan disengaja atau tidak keluarganya
akan menjadi sumber kekuatan yang penting dalam pembangunan karakternya. Dengan
demikian pula, muncul situasi saling membantu, saling menghargai, dan saling
memberikan pengaruh positif, yang kesemuanya ini mendukung perkembangan positi
dari karakter anak. Dengan kata lain, kesediaan anak menerima pendidikan
karakter berkembang sejalan dengan berkembangnya perasaan dihargai, diterima,
dicintai, dan dihormati tersebut dalam keluarga. Sementara di lingkungan sosial
sekolah dan perguruan tinggi, seseorang mendapatkan pengalaman belajar bersama lebih
banyak orang terdidik di sekolah atau perguruan tinggi. Kita lazim menyebutnya
dengan guru dan dosen. Guru dan dosen membagi ilmunya dan membangun karakter
peserta didiknya. Tentu saja, peran fungsional sama pentingnya dengan
kerja-kerja membangun karakter di lingkungan sosial keluarga. Terakhir adalah
lingkungan sosial pendidikan masyarakat, sebagai lingkungan sosial yang lebih
luas cakupannya jika dibandingkan dengan keluarga dan sekolah/kampus. Peran
fungsional lingkungan sosial pendidikan masyarakat juga amat menentukan tumbuh
dan kembang karakter seseorang.
Pendidikan
yang membangun karakter, hakikatnya meliputi pengembangan karakter seseorang –
baik dalam pengertiannya di sini anak (dalam keluarga), siswa/ mahasiswa
(sekolah/ perguruan tinggi), dan anggota masyarakat (jika di masyarakat) – baik
secara substansi, proses, dan/atau pengkondisian situasi/kondisi di lingkungan
sosial pendidikan untuk mengembangkan kebiasaan positif. Pembiasaan ini harus
berlangsung secara terus-menerus sehingga pada gilirannya terbangunlah “karakter
positif” dari seseorang tersebut.***