Menumbuhkan
motivasi peserta didik untuk belajar agama Islam dengan serius adalah hal
penting yang perlu dilakukan oleh guru agama Islam. Sebab, motivasilah yang
mendorong peserta didik untuk melakukan aktifitas belajar dengan serius. Peserta
didik termotivasi atau tidak, itu bisa dilihat dari “kesediaannya” untuk
melibatkan diri dalam rangkaian proses yang dirancang oleh guru agama Islamnya,
demi pencapaian tujuan belajar. Dengan motivasi ini, peserta didik akan lebih
mudah memberikan pencerahan kepada peserta didik, dan membantu mereka dalam
pencapaian tujuan belajar tersebut. Sehingga, dengan usaha yang minimalpun,
jika motivasi belajar siswa dalam belajar agama Islam telah berhasil dibangun,
ketercapaian tujuan belajar bisa dimaksimalkan.
Tentu
saja, menghadapi peserta didik dengan semangat belajar yang tinggi, bukanlah
persoalan yang serius. Namun tidak demikian halnya dengan peserta didik yang
cenderung malas untuk belajar. Dalam mata pelajaran agama Islam, seorang guru agama
Islam harus menyadari ini, bahwa diperlukan dorongan dari luar yang mampu
menyuntikkan motivasi kepada peserta didik untuk terus giat belajar tentang
agama Islam. Bisa pula dikatakan, memberikan motivasi adalah langkah awal yang
harus dilakukan oleh guru agama Islam, dan terus melakukannya sepanjang proses
belajar agama Islam dilakukan oleh peserta didiknya. Namun pekerjaan ini tentu
tidaklah mudah. Memberikan motivasi kepada peserta didik, tidak hanya akan
menggerakkan peserta didik sehingga bersedia aktif selama pelajaran agama Islam
berlangsung, tetapi juga mengarahkan dan menjadikan mereka terdorong untuk
belajar secara terus-menerus, walaupun mereka berada di luar jam pelajaran di
kelas.
Kata
motivasi, berasal dari kata yang diserap dari Bahasa Inggris yaitu “motivation”
yang akar katanya motive yang berarti menggerakkan. Sehingga motivasi,
bisa diartikan “sedang digerakkan” atau “telah digerakkan” oleh sesuatu, dan
apa yang menggerakkan itu terwujud ke dalam tindakan. Dari sisi etika, motif
didefinisikan dengan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang menjadi sebab
seseorang melalukan suatu tindakan. Sehingga motivasi bisa diartikan sebagai
dorongan yang menggerakkan, serta mengarahkan seseorang untuk melakukan sesuatu
berdasarkan apa yang dikehendakinya, yang tertuju pada tujuan yang
diinginkannya. Dari sisi psikologi, motivasi dibangun dari motif. Motif berarti
daya dorong untuk bertingkah laku, sedangkan motivasi adalah motif yang sudah menjadi
aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan terasa
sangat mendesak.[1]
Dengan
demikian, bisa diasumsikan bahwa “motivasi” untuk belajar agama Islam, ini
pangkalnya adalah pada “motif”, yaitu daya penggerak yang ada pada diri peserta
didik untuk melakukan aktifitas-aktifitas belajar, yang dalam hal ini belajar
agama Islam. Motiflah sebagai suatu kondisi internal dari seseorang yang
ditandai dengan munculnya feeling, dan didahului dengan adanya tanggapan
terhadap tujuan. Motif ini beririsan dengan kebutuhan. Jika ini dihubungkan
dengan motif peserta didik belajar agama Islam, maka sama saja maksudnya dengan
apa kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh peserta didik yang belajar agama Islam.
Maslow beranggapan
bahwa kebutuhan menjadi alasan terbentuknya motivasi pada diri seorang individu
untuk melakukan semua kegiatan yang sekiranya dapat menopang individu tersebut
dalam usaha memenuhi kebutuhan mereka. Teori tersebut dikenal sebagai Teori Hierarki
Kebutuhan Maslow atau Teori Maslow.[2]
Berikut adalah
kebutuhan-kebutuhan dalam Teori Hierarki Kebutuhan Maslow: Satu, Kebutuhan
Dasar atau Fisiologi Kebutuhan dasar merupakan hal yang harus terlebih dahulu
terpenuhi agar manusia dapat bertahan hidup dan melanjutkan hidupnya. Kebutuhan
fisiologis merupakan kebutuhan manusia akan oksigen, air, makanan, suhu tubuh
yang normal, tidur, homeostasis, kebutuhan seksual, dan sebagainya. Walaupun
tidak beririsan secara langsung, harus diakui, bahwa belajar agama Islam,
menjadikan peserta didik sadar tentang kesemua kebutuhan ini, dan bagaimana memenuhinya
secara benar sejalan dengan panduan ajaran agama Islam. Dua, Kebutuhan Akan
Rasa Aman Untuk melangkah ke tingkat selanjutnya, seorang individu harus
memenuhi kebutuhan pada tingkat ini. Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan akan
rasa aman ini meliputi rasa aman secara fisik maupun emosional.
Kebutuhan pada tingkat ini tergantung pada usia dari individu tersebut.
Contohnya seperti anak-anak yang lebih membutuhkan pendampingan orangtua karena
tingkat kewaspadaan diri anak yang masih rendah. Oleh karena itu, bagaimana
guru agama Islam bisa memenuhi kebutuhan ini, dengan bersikap selayaknya orang
tua bagi peserta didik mereka yang mendampingi dan mengajar dengan setulus
hati. Selayaknya mereka, menghindari kekerasan dalam pendisiplinan, yang
membuat rasa aman peserta didik menjadi berkurang. Dari sisi materi yang
diberikan, semisal tentang balasan berupa surga dan/atau neraka, juga bagian
dari munculnya motivasi belajar agama Islam dari peserta didik. Dengan belajar
agama Islam, peserta didik termotivasi dengan pahala dan balasan surga dari
Allah Swt, dan menjadi sebab terhindarnya ia dari siksa di neraka. Tiga,
Kebutuhan Sosial (Rasa Cinta, Kasih Sayang, serta Hak Kepemilikan) Di tingkat
ini, seorang individu membutuhkan cinta, kasih sayang, dan memiliki hak
kepemilikan terhadap suatu hal. Selain itu, seorang individu dapat
mendapatkan kebutuhan di tingkat ini dengan menjalin pertemanan dengan individu
lain, membentuk keluarga, bersosialisasi dengan suatu kelompok, beradaptasi
dengan lingkungan sekitar, serta berada dalam lingkungan masyarakat. Dalam Pelajaran
agama Islam, diajarkan tentang bagaimana peserta didik bisa mewujudkan pergaulan
sosial yang dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, serta dihargainya
hak-hal asasi berdasarkan panduan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, seorang
guru agama Islam tidak saja mengajar, tetapi juga menjadi teladan dalam soalan
ini. Empat, Kebutuhan Mendapatkan Penghargaan Maksud penghargaan bagi Maslow
adalah harga diri. Setiap individu berhak mendapatkan harga diri mereka
masing-masing. Harga diri dapat berasal dari diri sendiri maupun orang
lain. Menurut Maslow, harga diri dibagi menjadi dua bentuk yakni bentuk
menghargai diri sendiri dan bentuk penghargaan dari orang lain. Dalam pelajaran
agama Islam yang diberikan oleh guru agama Islam, apresiasi yang diberikan
kepada peserta didik, bisa beririsan dengan munculnya motivasi ini. Lima,
Kebutuhan untuk Mengaktualisasikan Diri. Kebutuhan di tingkat ini merupakan
kebutuhan yang paling tertinggi. Aktualisasi diri dapat diartikan sebagai wujud
sesungguhnya untuk mencerminkan harapan serta keinginan seorang individu
terhadap dirinya sendiri. Sehubungan dengan ini, seorang guru agama
Islam harus pandai dalam memilih pendekatan, strategi, dan metode, sehingga
peserta didik merasa dapat kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya selama
pelajaran agama Islam ia ikuti. Guru agama Islam, mesti merubah paradigmanya,
dari yang “berpusat pada guru” menjadi “berpusat ke peserta didik”.
Kecuali itu, ada pula yang mengkalisifikasikan
motovasi pada dua macam, berdasarkan sumbernya, yaitu: satu, motivasi
intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri peserta didik sendiri,
tanpa ada paksaan atau dorongan orang lain untuk belajar agama Islam. Seperti
seorang peserta didik yang gemar membaca buku-buku agama Islam, makanya tidak
lagi perlu disuruh-suruh untuk membaca, oleh karena telah menjadi kesenangannya,
dan mungkin menjadi kebutuhannya. Dalam proses belajar agama Islam, jelas
motivasi intrinsik ini memiliki pengaruh yang lebih efektif dan bertahan relative
lama, serta tidak bergantung ada atau tidaknya motivasi dari luar (ekstrinsik).
Meskipun demikian, ketika motif intrinsik tidak cukup potensial untuk mendorong
peserta didik belajar serius dalam pelajaran agama Islam, maka guru agama Islam
selayaknya bisa merekayasa hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik
adalah motivasi yang muncul dari pengaruh dari luar diri peserta didik, apakah
karena ajakan, suruhan, dan/atau paksaan
dari orang lain (termasuk: guru agama Islam), sehingga dengan demikian peserta
didik mau melakukan sesuatu atau melakukan aktifitas belajar (yaitu belajar agama
Islam). Motif-motif ekstrinsik ini bisa dikondisikan melalui: pujian,
peraturan/tata tertib, teladan guru, dan lain sebagainya.[3]
Namun demikian, motivasi ekstrinsik ini tidak bertahan lama, sebab itu motivasi
ekstrinsik hanyalah “pemicu” untuk membangun motivasi intrinsik dari peserta
didik.
Dalam pelajaran agama Islam, motivasi
belajar peserta didik perlu ditumbuhkan. Sehingga untuk itu, guru agama Islam
mestinya memperhatikan hal ini. Termasuk pula dalam hal ini, terus melakukan
inovasi-inovasi dalam pelajaran, serta membangun kemitraan dengan orang tua/wali
dari peserta didik mengingat tanggung jawab membangun motivasi belajar agama
Islam ini jelas tidak hanya oleh guru-guru agama Islam, tetapi juga orang
tua/wali dari peserta didik.***
*) Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, IAIN Pontianak
[1] Abdullah
Hadziq, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik (Semarang:
Rasail, 2005), hlm. 124.