Padahal,
dalam ajaran agama Islam, dikotomi antara ukhrawi dan duniawi, agama dan ilmu
pengetahuan, jelas sama sekali tidak dikenal, kecuali melalui
tafsiran-tafsiran. Dengan demikian, tafsiran yang mendikotomikan tujuan ukhrawi
dan duniawi terhadap pendidikan agama Islam, dan antara agama dan ilmu
pengetahuan sifatnya sangat subjektif dari penafsir. Rasulullah Saw saja pernah
menyampaikan, “barang siapa yang menginginkan dunia maka haruslah dengan ilmu,
dan barang siapa menginginkan akhirat maka juga harus dengan ilmu.” Berdasarkan
hadits ini, tidak ada prioritas dan/atau dominasi salah satu di antara
keduanya.
Pelajaran
pendidikan agama Islam yang non dikotomik adalah pelajaran pendidikan agama
Islam yang berkonotasi tidak semata-mata ukhrawi, tetapi juga duniawi. Justru
guru-guru agama Islam perlu membangun pemahaman pada murid-muridnya tentang
dunia sebagai ladang amal untuk kehidupan akhirat.
Menurut
Zakiyah Daradjat, pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya dipahami sebagai
proses untuk mengembangkan fitrah manusia. (Daradjat
1992, 25) Syed Naquib
al-Attas memberi titik tekan pada pembentukan kepribadian muslim. (al-Attas
1979, ix) Selanjutnya Omar
Mohammad al-Toumy al-Syaibany berpendapat bahwa terpenting dalam prosesnya,
pelajaran pendidikan agama Islam bisa relevan untuk memberi pengalaman belajar,
dan juga berdampak positif terhadap perubahan perilaku murid, sehingga memberi
pengaruh yang signifikan terhadap kualitas interaksinya dengan masyarakat dan
alam lingkungannya. (al-Syaibany
1979, 399)
Berikutnya
Yusuf al-Qardhawi memahami pelajaran pendidikan agama Islam sebagai upaya
menyiapkan murid-murid yang mencapai derajat “manusia seutuhnya”, yang baik
akal dan hatinya, baik jasmani dan ruhaninya, baik pengetahuan, keterampilan
serta akhlaknya. Pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya bisa menyiapkan
murid-murid, yang tidak hanya berkarakter baik namun juga bisa eksis di
tengah-tengah masyarakat. (al-Qardhawi
1980, 39) Sementara Hasan
Langgulung mengatakan pelajaran pendidikan agama Islam semestinya bisa
menyiapkan murid-murid untuk mampu berperan fungsional di tengah-tengah
masyarakatnya, dan untuk itu pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan
nilai-nilainya bisa sejalan dengan amal perbuatannya sehari-hari. Amal
perbuatannya di dunia, hasilnya akan diganjar setimpal di akhirat. (Langgulung
1995, 94)
Berdasarkan
paparan di atas, pelajaran pendidikan agama Islam selayaknya bisa diberikan
secara terintegrasi, agar dapat mengembangkan fitrah manusia, membentuk
kepribadiannya yang positif yang pengetahuan, sikap dan kepribadiannya baik,
menjadikannya bisa eksis dan berperan fungsional di tengah-tengah masyarakat,
dan sadar bahwa dunianya adalah ladang bagi kehidupannya kelak di akhirat.
Di
abad 21 sebagaimana realita di tengah-tengah kita saat ini, murid-murid di
sekolah yang mendapatkan pelajaran pendidikan agama Islam yang dikotomik akan
membuatnya sulit beradaptasi. Oleh karena itulah dalam penyusunan kurikulum
pelajaran pendidikan agama Islam, hal-hal semacam ini mesti diperhatikan.
Apalagi mengingat betapa pentingnya kurikulum dalam menentukan arah pelajaran
pendidikan agama Islam, yang dalam konteks ini: berkembang secara dikotomik
atau non dikotomik. (Fathonah
2018, 72) Jika Hilda Taba
memulai analisis tentang krisis sebelum membahas lebih dalam seputar kurikulum,
ini bukannya tidak mungkin ia yakin karena jika terjadi krisis di dunia
pendidikan sebab utamanya berakar dari kurikulum pendidikannya. Dalam skala
masalah yang lebih kecil, di kelas, bukannya tidak mungkin pula, Ketika terjadi
malpraktik pembelajaran di kelas, akar masalahnya juga adalah kurikulum
pendidikannya. (Lihat: Taba 1962, 1–3)
Dengan
pengertian ini, betapa pentingnya posisi kurikulum pendidikan di sekolah,
sehingga dalam pengembangannya harus betul-betul bisa sejalan dengan kebutuhan
murid-murid. Sebagaimana saat ini di abad 21, kurikulum pendidikan yang
dikembangkan mesti bisa dirancang secara non dikotomik agar murid-murid bisa
beradaptasi dengan perubahan yang terjadi sekecil apapun di abad ini. Seluruh
pelajaran yang mereka terima mesti diberikan non dikotomik dalam memberi
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang relevan dengan kebutuhan mereka
beradaptasi di abad ini. Pelajaran pendidikan agama Islam pun selayaknya begitu,
mesti diberikan secara non dikotomik, sehingga relevan dengan kebutuhan
murid-murid yang belajar agama Islam di abad ini.***
Bahan
Bacaan
Attas, Syed Muhammad Naquib al-. 1979. Aims and
Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.
Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Fathonah, Parisaktiana.
2018. “Pemikiran Pendidikan Fazlur Rahman dan Kontribusinya Terhadap
Pengembangan Teori Pendidikan Islam.” Jurnal Pendidikan Agama Islam 15
(1): 70–87. https://doi.org/10.14421/jpai.2018.151-05.
Langgulung, Hasan. 1995. Beberapa
Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif.
Qardhawi, Yusuf al-.
1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna. Diterjemahkan oleh
B.A Ghani dan Z.A Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang.
Syaibany, Omar Mohammad
al-Toumy al-. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Diterjemahkan oleh Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Taba, Hilda. 1962. Curriculum
Development: Theory and Practice. New York: Harcount, Brace & World.
Inc.