Namun
demikian, hak-hak anak sebagaimana dimaktub dalam UU Nomor 23 tahun 2002 di
atas senyatanya masih jauh panggang dari api. Realitas belum terpenuhinya
hak-hak anak ini, tercitrakan dari banyaknya kasus baik di rumah dan di masyarakat
serta sekolah, yang belum menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi anak buat
mendapatkan hak-haknya tersebut. Di rumah dan di masyarakat, misalnya, terjadi
kasus-kasus kekerasan baik fisik, psikis dan bahkan seksual yang dialami anak. Pelakunya
adalah orang-orang terdekat mereka di rumah dan orang-orang dewasa di
tengah-tengah masyarakat.
Demikian
pula di sekolah, yang mana guru kerap menjadi profil yang menciderai hak-hak
mereka di atas, sebagai pelaku kekerasan terhadap mereka. Guru-guru yang
seharusnya melindungi hak-hak mereka dalam soalan ini, banyak yang menjadi
tersangka sebagai pelaku kekerasan terhadap anak-anak didik mereka, tidak hanya
fisik dan psikis tetapi juga seksual. Miris?!. Berbagai kasus kekerasan yang
terjadi di rumah, sekolah dan di sekolah ini, adalah semacam puncak gunung es
yang meniscayakan pentingnya komitmen dari banyak pihak, untuk mendorong lingkungan
sosialnya menjadi “lingkungan sosial ramah anak”.
Kecuali
berdasar pada UU Nomor 23 tahun 2002 yang telah disebutkan di atas, dasar dari Lingkungan
Sosial Ramah Anak adalah Convention on the Rights of the Child (CRC) yang
ditandatangani di Turki pada tahun 1989. Menurut CRC ini, setiap anak setiap
anak, berhak untuk: satu, bertahan hidup yang meliputi kebutuhan dasar hidup
mereka seperti berpakaian, makanan, tinggal di tempat yang layak, obat-obatan,
dan semacamnya; dua, hak untuk berkembang yang meliputi hak-hak mereka untuk
mengembangkan potensi mereka secara optimal yang meliputi hak untuk dapat
dididik, bermain, istirahat, terlibat dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan,
mendapat akses terhadap berita dan informasi, dan semacamnya; tiga, hak untuk
dilindungi dari segala penyalahgunaan peran mereka, eksploitasi, dan
penelantaran, yang dengan demikian anak-anak tidak boleh menderita, mendapat
perlakuan tidak menyenangkan, termasuk hukuman yang tidak manusiawi dan
menjatuhkan harkat kemanusiaan mereka atas dalih apapun termasuk pendisiplinan;
empat, hak untuk berpartisipasi, dengan kebebasan berekspresi di tengah-tengah
masyarakat, dalam hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka, dan dengan cara
yang mempersiapkan anak-anak dalam pengambilan peran dan tanggung jawab yang
akan kian meningkat sejalan bertumbuh dan berkembangnya mereka di tengah-tengah
masyarakat.
Shirley
J. Miske dalam makalahnya Child-Friendly Schools-Safe Schools, yang
dipresentasikan di Second International Symposium on Children at Risk and in
Need of Protection, di Turki, 24 April 2010 (halaman 3), menyebutkan hak-hak
anak yang dilindungi oleh CRC adalah, mendapatkan hak berpendidikan yang
berpusat pada mereka, mendapatkan lingkungan belajar yang demokratis, inklusif,
berkeadilan dan tanpa diskriminasi yang memungkinkan anak-anak bisa belajar
tanpa takut berbeda latar belakang budaya dan stratifikasi sosialnya, mendapat
pengalaman belajar secara efektif dan protektif, aman dan sehat bagi tumbuh
kembang.
Jika
kita merujuk ke Child Friendly School Manual yang diterbitkan oleh
United Nations Children’s Fund (2006), lingkungan sosial ramah anak membuka
peluang: satu, meningkatnya aksesnya dalam berpendidikan; dua, meningkatnya
tingkat partisipasinya; tiga, meningkatnya retensi dan penyelesaiannya; empat, terbangunnya
atmofer belajar yang positif; lima, tersedianya lingkungan sosial yang aman,
inklusif dan ramah bagi semua anak; enam, tersedianya lingkungan sosial
pendidikan yang kondusif terhadap kebutuhan belajar, termasuk mengakomodasi
anak-anak yang berkebutuhan khusus (disbilitas) baik dari segi fisik dan
mental; tujuh, terbangunnya rasa kebersamaan di lingkungan sosial yang positif
bagi bertumbuh dan berkembangnya anak; delapan, adanya komunikasi yang edukatif
antara sekolah dengan rumah dan masyarakat dalam membangun komitmen bersama
terhadap pendidikan; sembilan, terjalinnya relasi yang harmonis antara sekolah,
dengan rumah dan masyarakat sebagai tripusat pendidikan yang saling menguatkan
antara satu dengan yang lain; dan sepuluh, adanya dukungan prasarana dan sarana
terhadap kebutuhan lingkungan sosial ramah anak.
Peluang
Kontraproduktif
Lingkungan
sosial ramah anak yang dicita-citakan bisa saja kontraproduktif, jika tidak ada
komitmen dari hati para orang tua, pendidik di sekolah, dan orang-orang dewasa
di tengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan dan mengawalnya. Sebab, mewujudkan
keluarga, sekolah, dan masyarakat yang ramah anak tidak bisa cuma bermodal
“omongan” saja. Mengaku berkomitmen, padahal tidak?!.
Jika
kita mengutip teori Dramaturgi yang diusulkan oleh Erving Goffman, maka ini
bisa kita mafhumi, bahwa segala tindakan sosial yang dimainkan oleh
individu-individu tidak selalu linier antara panggung depan (front stage)
dan panggung belakang (back stage). Mirip seperti pementasan drama.
Sebab kebanyakan pula, para aktor yang bermain drama hanya berpura-pura sebatas
memainkan perannya dalam lakon yang ditonton oleh banyak orang. Sebagaimana
diungkap oleh Margaret Poloma dalam bukunya Sosiologi Kontemporer (2013:
232), memainkan perannya untuk menyenangkan banyak penonton di panggung depan,
dan berbeda drastis kala berada di panggung belakang.
Sebab
itulah, kita bisa memafhumi tentang bagaimana para orang tua di rumah,
guru-guru di sekolah, dan orang-orang dewasa di tengah-tengah masyarakat, yang
terlihat “seolah-olah” ramah anak, tetapi tersangkut kasus bullying,
penganiayaan, pemerkosaan, dan lain sebagainya terhadap anak-anak di lingkungan
mereka. Ketika ini terjadi, maka cita-cita mewujudkan lingkungan sosial yang
ramah anak hanya berhenti sebatas “omongan saja”, dan tidak terjadi senyatanya
di lingkungan sosial kita. ***