Dengan demikian tantangannya adalah bagaimana mencetak
lulusan-lulusan sekolah/ madrasah yang tidak hanya berpengetahuan akademik, tapi
juga berketerampilan hidup (life skill), tidak hanya menerima pelajaran tetapi
pula mendapatkan “pengalaman belajar” dan tahu “caranya bagaimana belajar”,
tidak hanya dibekali kemampuan bekerja tetapi juga kemampuan menciptakan
lapangan kerja, tidak hanya sekedar lulus tetapi betul-betul lulusan
berkualitas yang siap bekerja atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih
tinggi, tidak hanya mumpuni dari sisi akademis tetapi pula mumpuni dalam sisi
agamanya, dan tidak hanya tahu agama tetapi juga betul-betul mengamalkannya,
dan tidak pernah berpikir memisahkan agama dari kehidupannya.***
[1]
Kedua istilah ini jelas berbeda tekanannya. Jika “worker”, adalah pekerja yang
sebatas bekerja berdasarkan perintah dari atasannya dan menerima imbalan yang
cenrung tetap, sementara “employee” adalah pekerja-pekerja yang bekerja
berdasar pada insiatif dan kreatifitasnya, sehingga penghasilannya yang ia
dapatkan pun tidak tetap, yang besarannya ia tentukan sendiri. Jalaluddin Rakhmat, “AFTA Mengancam
Lembaga Pendidikan di Indonesia”, dalam Catatan Kang Jalal: Visi Media,
Politik, dan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997). Betul, bahwa
tidak ada sekolah/madrasah yang terang-terangan mencantumkan dalam
brosur-brosur promosinya, bahwa lulusannya bakal siap bekerja di suatu bidang,
atau lulus di prodi-prodi tertentu yang ingin disasar, kecuali Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dan sekolah-sekolah kedinasan. Namun, dengan menyandang ijazah,
lulusan-lulusan dari sekolah/ madrasah cenderung mengejar posisi-posisi sebagai
pegawai di dunia kerja, dan nampak segan bekerja di luar jalur tersebut.
Kalaupun melanjutkan ke perguruan tinggi, prodi yang dipilihpun adalah
prodi-prodi yang mereka percayai bisa mengantarkan mereka sebagai pegawai.
Sehingga wajar, saat lulus ijazah mereka seperti jimat yang mereka bawa
kemana-mana untuk melamar kerja, sementara mereka minim keterampilan hidup (life
skill). Padahal, meminjam istilah Rocky Gerung, “ijazah itu adalah tanda
seseorang pernah sekolah, bukan penanda ia berpikir.” Moh. Zen dalam
disertasinya meneliti kehidupan “orang laut” di Riau dan membandingkan
penghasilan dari mereka yang hanya tamat SD dan tamat SMA. Mereka yang tamat
SMA malah menjadi miskin, oleh karena hanya mengidam-idamkan kerja kantoran
(yang kalaupun diterima kerja) yang gajinya jauh lebih kecil ketimbang
penghasilan mereka yang profesinya melaut walaupun hanya tamatan SD. Tampaknya
belum ada penelitian yang baru seputar ini. Lihat Moh.Zen, “DInamika Pendidikan
‘Orang Laut’ Sebagai Suatu Profil Operasionalisasi Pendidikan Nasional”, Disertasi,
Pascasarjana, IKIP Bandung, 1994.
[2]
Udin Supriadi dan Munawar Rahmat mengungkap hasil penelitiannya mengungkap
tentang bagaimana sekitar 50% lulusan SMP yang tidak melanjutkan studinya ke
jenjang SMA/MA dan sekitar 70% lulusan SMA yang tidak melanjutkan ke jenjang Perguruan
Tinggi Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam kurang mampu bersaing di dunia
kerja. Di perguruan tinggi ia menjadi input yang buruk. Oleh karenanya
keduanya, menyoroti sisi akhlak dan karakter yang kurang diperhatikan di
jenjang-jenjang ini, padahal menurut keduanya pintar saja tidak cukup. Udin Supriadi dan Munawar Rahmat, “Urgensi
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Akhlak, dan Pendidikan Karakter di Sekolah”,
dalam Prosiding Seminar Nasional Agama Islam 2019: Pendidikan Agama Islam
dan Penguatan Karakter Religius dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0,
Malang, 14 Maret 2019. ISBN: 978-623-93947-5-2., 6-15 [12]. Sehingga wajar ini
beririsan dengan kualitas lulusan perguruan tinggi (baik Perguruan Tinggi
Umum/ Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) yang juga buruk, dan bahkan lebih parah.
Setidaknya menurut Bimo Ario Tejo. Dalam kolomnya, Tejo mengungkap bagaimana – dalam contoh kasus di
Tasik Malaya – pada tahun 2019, tingkat pengangguran lulusan Diploma/ Sarjana
berada di kisaran 6% hingga 7%, jauh di atas tingkat pengangguran lulusan SD
yang hanya 2,7% dan SMP 5% berdasarkan data BPS tahun 2019. Baca: Bimo Ario
Tejo, “Sarjana Menganggur dan Revolusi Pendidikan Tinggi”, Kolom, Detik.com,
30 September 2019, https://news.detik.com/kolom/d-4727746/sarjana-menganggur-dan-revolusi-pendidikan-tinggi,
Akses 12/11/2019.
[3]
Udin Supriadi dan Munawar
Rahmat menyoroti bagaimana banyak sekolah yang hanya membekalkan siswa/i nya pelajaran
agama dua jam dalam satu minggu. Akibatnya, seringkali dari siswa/i tersebut
(sebutlah yang beragama Islam) tidak memiliki keterampilan minimum seperti keterampilan
membaca Al-Qur‘an. Keterampilan yang seharusnya telah dikuasai oleh siswa SD
ini seyogyanya banyak pula yang belum menguasainya meski telah menyandang
status mahasiswa. Kalaupun ada dari siswa yang bisa membaca Al-Qur’an dengan
baik, biasanya keterampilan tersebut didapat di luar sekolah, seperti di Taman
Pendidikan Al-Qur‘an. Hanya berdasarkan penelitian Supriadi dan Rahmat, mereka
yang masuk Taman Pendidikan Al-Qur‘an hanya 10%-30% siswa SD. Udin Supriadi dan
Munawar Rahmat, “Urgensi Pendidikan Agama Islam…”, 12.