Oleh: Syamsul Kurniawan
Perubahan sosial adalah niscaya dan
alamiah terjadi di tengah-tengah masyarakat. Disebut perubahan sosial, oleh
karena proses tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada struktur
dan fungsi dari sistem sosial.(Rosana, 2015, hlm. 67) Modernisasi adalah salah satu
di antara contoh dari perubahan sosial. Modernisasi mengakibatkan transformasi
total kehidupan bersama, dari yang tradisional ke arah pola yang modern.(Sztompka, 2005, hlm. 153)
Meskipun modernisasi adalah
konsekuensi dari perubahan sosial, namun demikian, respon seseorang atau kelompok
terhadapnya bisa berbeda-beda. Ada yang menerimanya, namun tidak sedikit pula
yang menolaknya. Radikalisme agama misalnya, seringkali dikait-kaitkan dengan
respon terhadap modernisasi.(Yono, 2016, hlm. 321) Sebabnya, mereka pandangan
terdapat irisan antara modernisasi dengan kebarat-baratan (westernisasi).
Walaupun, pada ranah ini modernisasi bisa dibedakan dengan westernisasi.(Abdulsyani, 1994, hlm. 177)
Modernisasi jelas tidak mesti “kebarat-baratan”,
sebab terlalu berlebih-lebihan jika selalu mengaitkan modernisasi dengan Barat.
Betul, bahwa Barat telah mencapai modernisasi tersebut, namun demikian jalan
menjadi modern bisa saja tidak sama. Sebab poin penting dari modernisasi adalah
berkemajuan bukan pembaratan. Sebagai konsekuensi dari perubahan sosial,
modernisasi muncul bisa disebabkan oleh banyak alasan. Jefta Leibo, berpendapat,
bahwa setidaknya ada tiga alasan yang relevan terhadap tren ini: satu, immanent
change, yaitu suatu bentuk perubahan sosial yang berasal dari sistem itu
sendiri dengan sedikit atau tanpa inisiatif dari luar; dua, selective
contact change, yang mana outsider secara tidak sadar dan spontan membawa
ide-ide baru kepada anggota-anggota daripada sistem sosial; tiga, directed
contact change, yaitu apabila ide-ide baru atau cara-cara baru tersebut
dibawa dengan sengaja oleh outsider.(Leibo, 1995, hlm. 71) Dalam konteks modernisasi di
tubuh umat Islam di Indonesia, ketiganya bisa relevan.
Moderasi beragama di
tengah-tengah umat Islam sesungguhnya sangat relevan dengan modernisasi. Mereka
yang berpikir moderat, mestinya bisa berdamai dengan modernisasi. Demikian pula
sebaliknya, mereka yang mengusahakan modernisasi mestinya dapat berpikir
moderat. Termasuk dalam konteks beragama. Oleh karena itu, sulit rasanya
memisahkan keduanya, meskipun dua diksi ini berbeda pemaknaannya. Dalam sejarah
kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia, hal ini juga menerima imbas. Kebanyakan
penolakan-penolakan terhadap kelembagaan pendidikan Islam yang berciri modern
itu muncul dari kelompok-kelompok muslim tradisional yang kurang moderat dalam
menyikapi modernisasi. Sampai kemudian muncul gagasan-gagasan moderat dari para
pembaharu muslim untuk melakukan perubahan-perubahan mendasar di tubuh
kelembagaan pendidikan Islam dan berdamai dengan modernisasi.
Faktor Pembaharu Muslim yang
Moderat
Sebagaimana dimafhumi, dalam
konteks sejarah pendidikan Islam di Indonesia, pemikiran moderat di
tengah-tengah umat Islamlah yang memang menjadi sebab tidak langsung dari
berkembangnya gagasan-gagasan untuk memodernisasi kelembagaan pendidikan Islam
tradisional. Munculnya madrasah misalnya, ini tidak lain muncul sebagai
konsekuensi berpikir moderat para pembaru Islam saat itu, yang mengandaikan pentingnya
pesantren, surau, dan lembaga-lembaga pendidikan yang berciri tradisional
terbuka terhadap perubahan sosial dan modernisasi. (Saihu, 2015, hlm. 3) Sementara saat itu, trennya
memang pengelola pendidikan Islam tradisional, kurang moderat dalam menyikapi
tren modernisasi, sehingga mencurigai modernisasi sebagai proyek Barat untuk
melemahkan umat Islam.(Kurniawan, 2017, hlm. 2)
Kiprah pelajar muslim alumni
timur tengah yang membawa spirit berpikir moderat, sebagai pembaharu, turut
memuluskan pergeseran model kelembagaan pendidikan Islam dari yang berciri
tradisional ke arah yang modern.(Saihu, 2015, hlm. 3–4) Demikianlah, modernitas tidak
seharusnya dipertentangkan dengan sikap hidup umat Islam. Modernitas, sebagaimana diungkapkan oleh
Abuddin Nata, berarti kesediaan sikap dan mentalitas berdamai dengan tuntutan
hidup masa kini yang modern.(Nata, 2004, hlm. 87–88) Pendidikan Islampun dari sisi
kelembagaan, bisa senafas dengan hal tersebut.(Saihu, 2015, hlm. 24)***
BAHAN BACAAN
Abdulsyani. (1994). Sosiologi:
Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara.
Kurniawan, S.
(2017). Gagasan Pendidikan Kebangsaan Soekarno: Ide Progresif atas
Pendidikan Islam Indonesia. Madani.
Leibo, J. (1995). Sosiologi
pedesaan (J. Nasikun, Ed.; Ed. 2., cet. 1). Andi Offset.
Nata, A. (2004). Sejarah
Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Raja Grafindo
Persada.
Rosana, E. (2015).
Modernisasi dalam Perspektif Perubahan Sosial. Al-Adyan: Jurnal Studi Agama,
X(1), 67–82. https://doi.org/10.24042/ajsla.v10i1.1423
Saihu, M. (2015).
Modernisasi Pendidikan Islam. Al-Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam,
3(1).
Sztompka, P. (2005).
Sosiologi Perubahan Sosial (Alimandan, Ed.). Prenada.
Yono. (2016).
Menakar Akar-Akar Gerakan Radikalisme Agama Di Indonesia Dan Solusi
Pencegahannya. Mizan: Journal of Islamic Law, 4(2), 311–326.
https://doi.org/10.32507/mizan.v4i2.185