Kecerdasan
sosial yang dimaksud di sini adalah bagaimana kecerdasan mereka memiliki
orientasi untuk berkontribusi terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Kecerdasan
sosial juga berarti adanya kemampuan untuk menghasilkan kreasi, karya, dan
kontribusi nyata untuk mewujudkan lingkungan sosial sekitarnya ke arah yang lebih
baik. Betul, bahwa saat ini, banyak dari lulusan-lulusan perguruan tinggi yang
berprestasi di bidang akademik, namun demikian kualitas karakter mereka
senyatanya belum matang untuk bersaing.[1]
Ada
anggapan bahwa, modal sukses lulusan perguruan tinggi ada dua: satu, kompetensi
akademik (hard skills) yang menyumbang 20 persen; dan dua, kompetensi non
akademik (soft skiils) yang menyumbang 80 persen. Secara umum soft
skills adalah kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan
intra dan interpersonal. Beberapa contoh soft skills di antaranya adalah
kemampuan beradaptasi, berkomunikasi, memimpin, mengambil putusan, dan
memecahkan masalah.
Berbeda dengan
hard skills, soft skills ini jelas membutuhkan kecerdasan sosial. Sayangnya,
pengajaran di perguruan tinggi cenderung masih berfokus pada penguatan
akademis, ketimbang penguatan kecerdasan sosial ini. Bukannya penguatan
akademis ini tidak penting, tetapi kemampuan non akademik berupa soft skills
jelas akan menentukan level sukses mereka di dunia kerja.[2]
Peran Dosen yang Visioner?
Dalam mencetak
lulusan-lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya memiliki kecerdasan
intelektual tapi juga sosial, dibutuhkan lebih banyak dosen-dosen yang visioner.
Terma visioner yang dimaksudkan di sini biasanya berhubungan kemampuan dosen
membaca kebutuhan masa depan dari mahasiswa-mahasiswanya. Dalam polesan
kerja-kerja terukur dosen-dosen yang visioner inilah lulusan-lulusan perguruan
tinggi yang cerdas intelektual dan sosialnya mungkin terwujud.
Dosen
yang visioner, dalam pengertian yang sederhana sama dengan fungsi guru-guru di
sekolah yang juga selayaknya visioner, berwawasan jauh ke depan, mampu menyusun
strategi pencapaian dan secara berkelanjutan melakukan evaluasi terhadap
kerja-kerja yang ia lakukan demi mewujudkan visinya tersebut. Kecuali itu, ia
punya kemampuan untuk meyakinkan mahasiswa-mahasiswanya terhadap visinya. Dalam
membangun jejaring, penting pula baginya membangun hubungan baik dengan
berbagai pihak yang dibutuhkan untuk pencapaian visinya.[3]
Menjadi
dosen yang visioner sangat berhubungan dengan pola pikir sekaligus tindakan yang
akan ia lakukan sesuai rencananya. Dengan demikian, kerja visioner seorang
dosen bukan berarti kerja serabutan melainkan kerja-kerja terukur. Kerja-kerja terukur
ini dituntut untuk mampu menjawab kebutuhan mahasiswanya yang kelak menjadi lulusan-lulusan
perguruan tinggi yang akan berkontestasi di dunia kerja. Mereka yang tergolong
dosen visioner, terus bergerak, kreatif, dan optimistik. Dosen yang visioner
adalah mereka yang proaktif, bukannya reaktif dan apalagi inaktif.
Kembali
ke kerja-kerja mencetak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang tidak hanya
cerdas intelektual tapi juga sosial, seorang dosen perlu mencari
terobosan-terobosan. Terkadang, mereka harus “think out the box” untuk
kebutuhan ini. Sebagaimana telah diulas di atas, pangsa pasar pada hari ini
membutuhkan lebih dari sekedar lulusan-lulusan perguruan tinggi yang pintar
(dalam pengertian hanya sisi intelektualnya saja yang cerdas), tetapi mereka
yang juga mempunyai kecepatan membangun pertemanan, jejaring dan kepercayaan (baca:
kecerdasan sosial). Pemenang kontestasi di masa depan adalah mereka yang dengan
kecerdasan sosialnya mampu membangun kolaborasi. Betul, bahwa masa depan
dibangun di atas fondasi kolaborasi dan sinergi.***
[1] Kompas, “Menjadi Generasi Cerdas Sosial”, Kompas (Oktober 2012), p.
51.
[2] Ibid.
[3] Eva Solina, “Guru Sang Visioner”, Pontianak Post (Pontianak, 28 Sep
2019), p. 10.