Sulit
memungkiri bagaimana di negara ini, Islam menjadi agama yang paling banyak
dipeluk oleh penduduknya. Kesadaran umat Islam tentang kuantitasnya yang banyak
ini mestinya diikuti kesadaran tentang tanggung jawabnya yang berat dalam
merawat harmonisasi di tengah-tengah heterogenitas sosial keagamaan negara ini.
Jika kita menyetujui bahwa karakter dari seluruh umat manusia dibentuk salah
satunya oleh fungsi-fungsi pendidikan, maka bagi umat Islam di negara ini, fungsi-fungsi
tersebut mestinya bisa diperhatikan.
Hanya saja, pendidikan
Islam, baik secara kelembagaan maupun materi-materi yang diberikan, oleh para
pemerhati dipandang seringkali menerima kritik, oleh karena berkembang ke arah yang
dogmatis, ekslusif, dan kurang optimal dalam membangun sisi afektif dari siswa
yang belajar, dalam artian lebih banyak membangun sisi kognitif dan psikomotorik
saja. Kecenderungan semacam ini, terjadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam,
sebutlah seperti pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah bercirikan Islam.
Apa
Indikatornya?
Indikatornya
menurut M. Amin Abdullah, dilihat dari prosesnya yang lebih menekankan pada
terbentuknya pandangan tentang “keselamatan individu dan kelompok sendiri”
ketimbang keselamatan banyak orang, yang berarti ada pertimbangan untuk
menjamin keselamatan individu atau kelompok “yang lain” di luar kelompoknya.(Abdullah, 2001,
hlm. 14)
Sementara
menurut Munir Mulkhan, indikator dari betapa dogmatis, ekslusif, dan kurang optimalnya
pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah bercirikan Islam dalam membangun sisi
afektif dari siswa yang belajar, terlihat pada: satu, terbatasnya ruang
perbedaan pendapat antara guru dan peserta didik, dan atau antara peserta didik
dengan sesama peserta didik, sehingga pembelajarannya bersifat indoktrinatif; dua,
fokus pendidikannya hanya pada pencapaian kemampuan ritual dan keyakinan
tauhid, dengan materi ajar pendidikan agama Islam yang sifatnya hitam-putih,
dan/atau benar-salah. Dengan demikian sangat kaku. Hal ini disetujui oleh
Muhammad Ali dan Ahmad Fuad Fanani dalam opini yang mereka tulis di Harian
Kompas.(Ali, 2008; Fanani,
2002)
Kecuali itu,
Abdurrahman Mas‘ud berbagi pandangan yang hampir identik, dengan menyebut
sejumlah indikator, seperti: satu, guru yang lebih sering menasihati peserta
didik dengan cara mengancam; dua, guru yang hanya mengejar standar nilai
akademik sehingga kurang memperhatikan budi pekerti; dan tiga, kecerdasan
intelektual peserta didik tidak diimbangi dengan kepekaan sosial dan ketajaman
spritualitas beragama.(Ramadhan & Radinah, 2004, hlm. 87–88)
Pentingnya
Reparadigma
Kecenderungan
model pendidikan semacam ini, sebagaimana digambarkan di atas, jelas kurang
relevan dalam konteks masyarakat kita yang heterogenitasnya sangat tinggi. Oleh
sebab itu, diperlukan reparadigma kelembagaan pendidikan Islam yang dibangun
berdasarkan multikulturalisme. Dengan kata lain, penting bagi pendidikan Islam,
baik dari sisi kelembagaan maupun materi yang diberikan, serta prosesnya,
sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan multikultural.
Telah
dipaparkan di atas, penting di sini melakukan reparadigma. Menurut James A.
Banks, pendidikan multikultural adalah konsep pendidikan yang memberi
kesempatan yang sama pada seluruh peserta didik tanpa membeda-bedakan gender
dan kelas sosial, etnik , ras, agama, dan karakeristik kultural mereka di dalam
proses pendidikan/pembelajaran. Sementara menurut Fransisco Hidalgo, bahwa
pendidikan multikultural adalah pendidikan yang dalam pembelajarannya bebas
dari rasisme, seksisme, dan bentuk-bentuk dominasi sosial dan intoleransi.(Hidalgo, 1988)
Dengan adanya
reparadigma ini, terbentuklah karakter dari peserta didik yang belajar di
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersedia mengenal, hidup bersama, saling menghargai
dan saling merayakan keberagamaan sosial dan keagamaan di tengah-tengah mereka.
Demikianlah tujuannya. Berhasil atau tidaknya kelembagaan pendidikan Islam
dalam mewujudkan pendidikan multikultural indikatornya di tengah-tengah
masyarakat adalah lulusan-lulusannya yang memiliki komitmen terhadap kedamaian
dan harmonisasi.***
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz SR. (2019). Transformasi Konflik dan Peran Pemerintah
Daerah. Jurnal of Urban Sociology, 2(1), 28–41.
http://dx.doi.org/10.30742/jus.v2i1.609
Abdullah, M. A. (2001). Pengajaran Kalam dan Teologi di Era
Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama. Tashwirul
Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, 11, 14.
Ali, M. (2008). Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai
Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Kompas.
Fanani, A. F. (2002, Juli 3). Pendidikan Pluralis-Multikultural dan
Liberatif. Kompas.
Hidalgo, F. (1988). Multicultural Education landscape for Reform in
the Twently-first Century. Pergamon.
Ramadhan, M., & Radinah, H. (Ed.). (2004). Format Baru Pola
Pendidikan Keagamaan Pada Masyarakat Multikultural dalam Perspektif Sisdiknas.
Dalam Antologi Studi Agama dan Pendidikan (hlm. 87–88). Aneka Ilmu.