![]() |
Foto Dokumentasi di UIN Sumatera Utara (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023) |
Oleh: Syamsul Kurniawan
SEHUBUNGAN dengan daya tahan kebijakan moderasi beragama di lingkup
perguruan tinggi, peran fungsional pemimpin dalam ranah ini
jelas sangat penting. Rektor dan jajaran pimpinan di perguruan tinggi perlu memberikan support penuh terhadap penguatan moderasi
beragama. Kaitan dengan ini, kepemimpinan jajaran pimpinan di perguruan tinggi, mulai dari Rektor hingga ke pimpinan di level program studi, selayaknya
fungsional terhadap kebutuhan ini.
Kaitannya dengan ini, kepemimpinan yang fungsional
jelas tidak selalu bawaan dari sejak lahir. Menurut Wuryanano, seorang penulis
yang menyebut dirinya sebagai mindset navigator, bahwa kepemimpinan semacam ini
mestinya diperoleh dengan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan seputar
kepemimpinan.[1]
Betul, bahwa tidak menampik jika setiap orang ketika
lahir sudah membawa bakatnya dalam memimpin, sebagaimana sabda Nabi Saw, “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan
setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya” (HR Bukhari).
Namun soal fungsional atau tidak kepemimpinannya, itu perkara yang lain.
Apalagi, model-model kepemimpinan yang support terhadap penguatan
moderasi beragama, jelas ini butuh pembiasaan-pembiasaan. Oleh karena tidak
fungsional kepemimpinan seorang pimpinan terhadap kebutuhan ini, termasuk dalam
konteks perguruan tinggi, maka kebijakan-kebijakan penguatan
moderasi beragama kurang memiliki daya tahannya. Untuk kebutuhan ini, para
jajaran pimpinan dari tingkat rektor hingga pimpinan program studi mesti
menunjukkan teladan dalam moderasi beragama.
Sebab
ia adalah teladan dari yang dipimpinnya. Sebagaimana dimafhumi, menjadi seorang
pemimpin berarti menjadi seorang yang punya pengaruh; bisa mempengaruhi
orang-orang di lingkungan yang sesuai dengan dunianya. Maka bisa dibayangkan
jika para pimpinan di perguruan tinggi keagamaan Islam, hanya mampu
membicarakan penguatan moderasi beragama sebatas wacana, dan tidak merembes ke
dalam kebijakan-kebijakan yang strategis. “Mempunyai pengaruh” juga bisa
diartikan, bahwa seorang pemimpin itu punya kemampuan untuk memperoleh
pengikut.
Seberapa
fungsional, bagaimana mendisgnosanya?
Fungsional
tidaknya kepimpinan di perguruan tinggi keagamaan Islam terhadap kebutuhan ini,
bisa didiagnosa dengan menggunakan skema A-G-I-L dari Talcott Parsons. Dari
sisi adaptasi (adaptation), seorang pimpinan dari rektor hingga jajaran
pimpinan program studi mengetahui atau tidak secara pasti tentang bidang tugasnya,
agar lebih memperjelas pelaksanaan, arahan, dan efektifitas kebijakan-kebijakan
penguatan moderasi beragama di perguruan tingginya. Dari sisi
pencapaian tujuan (goal-attainment), jajaran pimpinan memiliki kemampuan
atau tidak dalam membaca kebutuhan-kebutuhan untuk optimalisasi penguatan
moderasi beragama di perguruan tingginya. Dari sisi integrasi (integration),
jajaran pimpinan memiliki kemampuan atau tidak dalam membangun hubungan kerja
yang baik, baik dalam internal perguruan tingginya maupun
keluar. Terakhir, dari sisi latensi (latency), para jajaran pimpinan memiliki
keberanian atau tidak merawat pola-pola kebijakan yang support terhadap
kebutuhan penguatan moderasi beragama yang ditunjukkan dengan keberanian untuk mengambil
keputusan secara tepat, baik dilihat dari segi waktu maupun materi. Jika
keempat prasayat fungsional ini tidak lengkap, bisa dipastikan di perguruan
tinggi, kebijakan-kebijakannya kurang memiliki daya tahan
terhadap penguatan moderasi beragama.
Bisa dimafhumi, pada umumnya seseorang yang diangkat menjadi pemimpin didasarkan atas kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kelebihan-kelebihan tersebut merupakan syarat utama menjadi seorang pemimpin yang sukses. Ach. Mohyi, dalam konteks manajemen organisasi menyebut beberapa syarat utama yang harusnya dimiliki oleh seorang pemimpin: satu, Mampu berperan fungsional sebagai pengatur, pengarah aktivitas organisasi atau lembaga untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; dua, mampu berperan fungsional sebagai penanggung jawab dan membuat kebijakan-kebijakan organisasi atau kelembagaan; tiga, mampu berperan fungsional menjadi pemersatu dan memotivasi para bawahannya dalam melaksanakan aktivitas organisasi atau kelembagaan; empat, mampu berperan fungsional menjadi pelopor dalam menjalankan aktivitas manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan serta pengelolaan sumber daya yang ada; dan lima, mampu berperan fungsional sebagai pelopor dalam memajukan organisasi atau suatu lembaga.[2]
Sementara itu menurut Jawahir Tanthowi, syarat-syarat yang harus ada pada seorang pimpinan adalah sebagai berikut: satu, mampu melihat organisasi secara keseluruhan; dua, mampu mengambil keputusan; tiga, mampu melaksanakan pendelegasian; dan empat, mampu memimpin sekaligus mengabdi.[3] Dalam konteks daya tahan perguruan tinggi terhadap penguatan moderasi beragama, jajaran pimpinan mulai dari rektor hingga pimpinan program studi mesti menunjukkan kemampuannya dalam keterampilan teknis ini, sehingga mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan kebijakan atau program yang support terhadap penguatan moderasi beragama, dan pada gilirannya hasil pencapaian dari inipun bisa dioptimalkan. Jika ini tidak terwujud, maka sudah pasti ada yang disfungsional.***
[1] Wuryanano, 2007. Super Mind for Successful Life (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007),
130.
[2] Ach. Mohyi, Teori & Prilaku Organisasi. Ed: Trioningsih-Ratih
Juliati (Malang: UMM, 1999), 176.
[3] Jawahir Tanthowi. Unsur-unsur Manajemen Menurut Ajaran Al-Qur‘an
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983) hlm. 37