Support Manajemen yang Dibutuhkan
Dengan manajemen
yang baik, peluang sesuatu dikerjakan dengan baik lebih besar. Sebabnya karena,
manajemen yang baik membuka peluang terjadinya kerjasama yang baik pula dalam
pencapaian tujuan.[1]
Joseph L. Massie
dalam bukunya Essential of Management mentengarai bahwa kerja manajemen
amat beririsan dengan proses di mana suatu kelompok secara bersama-sama
membangun kerjasama, mengarah tindakan ke arah pencapaian tujuan bersama.
Proses yang dimaksudkan di sini mencakup apapun kerja-kerja teknis yang
digunakan pimpinan selaku manajerial, untuk mengkoordinasikan kegiatan dan
orang-orang dalam terwujudnya tujuan bersama.[2] Mereka yang mengelola
semuanya ini, menjalankan fungsi-fungsi manajerial.[3]
Dalam konteks
mengoptimalkan kebijakan-kebijakan pro penguatan moderasi beragama di madrasah,
manajemen diperlukan untuk menjaga proses dengan memaksimalkan pemanfaatan
seluruh sumber daya yang tersedia, baik dalam pengertian orang-orang yang
bekerja untuk ini, pendanaan atau sumber keuangan, perangkat kerja, dan/atau
termasuk pula di dalamnya teknologi, metode dan bahan-bahan yang tersedia dalam
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam Islam,
kerja-kerja manajerial yang diharapkan optimal, mesti berlandaskan niat tulus
untuk mendapatkan ridha Allah Swt, dan tujuan-tujuan yang selayaknya juga
diridhainya. Sebab itu, tidak diperkenankan, fungsi-fungsi manajemen dibangun
dari prinsip-prinsip yang berseberangan dengan akidah, syariah, dan akhlak
dalam Islam.[4]
Kerja-kerja manajerial untuk kebijakan yang pro penguatan moderasi beragama di madrasah
keagamaan Islam tentu tidak akan menyimpang dari prinsip yang asasi ini, dan
bahkan justru sangat sejalan.
Seperti disinggung
oleh Lukman Hakim Saifuddin, moderasi beragama sama sekali bukan mendangkalkan
kualitas beragama atau menjauhkan umat dari agamanya. Sebaliknya moderasi
beragama justru meningkatkan kualitas beragama dengan mengusahakan
internalisasi inti pokok ajaran agama secara utuh dengan disertai sikap
menghargai keragaman keyakinan dan tafsir keagamaan. Internalisasi inti pokok
ajaran agama ini dimaksudkan supaya agama senantiasa menjadi landasan
spiritual, moral, dan etika dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Sementara penghargaan terhadap keragaman beragama dalam konteks
Indonesia ditujukan untuk mendorong kehidupan keagamaan yang moderat demi
memperkuat komitmen kebangsaan. Moderasi beragama akan membuka umat lebih dekat
dengan Tuhan sekaligus lebih erat dengan sesama.[5] Hal ini tentu positif, dan
kerja-kerja manajerial untuk hal ini tentu sama sekali tidak dengan akidah,
syariah, dan akhlak dalam Islam.
Support Kepemimpinan yang Dibutuhkan
Untuk
optimalisasi kerja-kerja manajerial terhadap kebijakan-kebijakan yang pro
penguatan moderasi beragama di madrasah, tidak hanya diperlukan support
manajemen yang baik, tetapi juga dibutuhkan sosok kepala madrasah yang memiliki
jiwa kepemimpinan yang support terhadap hal ini.
Kata
kepemimpinan, akar katanya adalah “pemimpin”, yang berarti suatu keadaan
memberikan arahan, bimbingan, perintah kepada orang lain dalam memilih dan/atau
melakukan kerja-kerja untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Menurut
Moh. Haitami Salim yang mengutip Tannabaum, Weschler, dan Nassarick,
kepemimpinan adalah kemampuan memberi pengaruh, terhadap orang lain, dalam situasi
tertentu, melalui interaksi dan komunikasi langsung, untuk mencapai satu atau
beberapa tujuan. Hal ini berarti pula, kepemimpinan adalah kemampuan menbujuk
orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama.[6]
Berdasarkan ini, maka ada tiga indikator dari kepemimpinan, dan ini penting
dalam mendorong kebijakan-kebijakan yang pro penguatan moderasi beragama: satu,
kepemimpinan berhubungan dengan konsep tentang relasi; dua, kepemimpinan
bermakna adanya proses; dan tiga, kepemimpinan berarti mempengaruhi orang lain
untuk mengambil suatu tindakan berdasarkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.[7]
Sayangnya,
kebijakan-kebijakan yang pro penguatan moderasi beragama di madrasah seringkali
“mentah” dan tidak optimal hasil pencapaiannya, disebabkan oleh motivasi dari
pemimpin itu sendiri, yang seringkali tidak tulus. Hal ini bisa dipahami, sebab
secara umum, orang menjadi pemimpin dengan dua motivasi utama: satu, ingin mendapatkan sesuatu
(misalnya fasilitas, tunjangan, dan sebagainya); dan dua, ingin memberikan sesuatu atau dengan kata lain melayani/
mengabdi. Selama ini tidak kontraproduktig, menurut penulis “sah-sah”saja.
Namun akan menjadi masalah, manakala ini mempengaruhi optimalisasi pencapaian
tujuan, yang dalam hal ini penguatan moderasi beragama di madrasah.
Kaitan
dengan ini, kepala madrasah selayaknya membangun kepemimpinannya dengan
berprinsip SERVE. SERVE yang dimaksudkan di sini, tidak saja bermakna “melayani”
(dalam konotasinya yang positif) tetapi juga merupakan akronim dari: S (see
the future), E (engange and develop others), R (reinvet
continuously), V (value results and relationship), dan E (embody
the value).***
[1] Moh. Haitami Salim, “Manajemen
Kepemimpinan dalam Islam: Upaya Meningkatkan Kemampuan Manajerial Kepala
Madrasah”, Makalah, disampaikan
pada Halaqah Kepala Madrasah Diniyah Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Kalimantan Barat, tanggal 29 Maret 2012 di Asrama Haji Pontianak,
hlm. 1.
[2] Joseph L. Massie, Essential of Management (Englewood Cliffs,
N.J, Printice Hall, Inc., 1987), hlm. 3.
[3] Moh. Haitami Salim, “Manajemen
Kepemimpinan dalam Islam, hlm. 1.
[4] Fuad Rumi, dkk. Manajemen dalam Islam (Ujung Pandang:
LSI Universitas Muslim Indonesia, 1994), 14.
[5] Lukman Hakim Saifuddin, Moderasi
Beragama: Tanggapan Atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang
Dihadapinya (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2023), hlm. 20
[6] Moh. Haitami Salim, “Manajemen
Kepemimpinan dalam Islam, hlm. 2-3.
[7] Ibid, hlm. 3.