Iklan

Modernisasi Kelembagaan Pendidikan Islam, Quo Vadis?

syamsul kurniawan
Saturday, September 9, 2023
Last Updated 2024-12-13T12:27:17Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates



Oleh: Syamsul Kurniawan


Pendidikan Islam adalah pondasi fundamental dalam membentuk individu yang memiliki keseimbangan antara dimensi spiritual dan rasional. Namun, seperti halnya seluruh entitas sosial lainnya, pendidikan Islam tak lepas dari dinamika perubahan sosial yang menuntutnya untuk bertransformasi. Di tengah derasnya arus modernisasi, pertanyaannya adalah: Quo Vadis? Ke manakah arah kelembagaan pendidikan Islam yang kini tengah berhadapan dengan tantangan zaman?


Perubahan sosial, seperti yang telah dipahami dalam banyak teori sosial, adalah hal yang alamiah. Ia melibatkan pergeseran dalam struktur dan fungsi sosial, termasuk dalam pendidikan. Modernisasi adalah salah satu wajah perubahan sosial yang paling kentara. Meskipun modernisasi sering kali diidentikkan dengan kemajuan Barat, ia bukanlah sekadar westernisasi. Modernisasi memiliki daya tarik universal untuk mencapai tujuan bersama—kemajuan sosial, ekonomi, dan budaya—tanpa harus menanggalkan identitas dan tradisi lokal. Lalu, di mana posisi lembaga pendidikan Islam dalam proses ini?


Jean Baudrillard, dalam karyanya tentang Simulacra and Simulation (1994), menyoroti bagaimana dalam masyarakat postmodern, realitas telah digantikan oleh citra atau simulasi. Dalam konteks pendidikan Islam, simulasi ini bisa dilihat sebagai upaya untuk meniru sistem pendidikan modern tanpa mengadaptasinya dengan nilai-nilai agama. Baudrillard menulis tentang hyperreality, sebuah kondisi di mana dunia nyata dan dunia buatan (simulasi) saling bercampur, menciptakan suatu realitas yang lebih menarik dan terpersepsi daripada realitas itu sendiri. Di sinilah masalah muncul: lembaga pendidikan Islam sering terjebak dalam upaya meniru model pendidikan modern, tanpa memahami hakikat dan esensi dari perubahan itu sendiri.


Modernisasi: Dari Pinggiran ke Pusat


Modernisasi sebagai proses sosial menggambarkan gerakan dari sesuatu yang tradisional menuju pola-pola kemajuan yang modern. Piotr Sztompka, dalam teorinya tentang modernisasi, menunjukkan bahwa perubahan ini tidak hanya bersifat linier, tetapi juga memiliki ketidakpastian. Masyarakat yang kurang modern harus beradaptasi dengan pola modern yang dibangun di negara-negara industri. Namun, adaptasi ini tidak selalu mulus. Di Indonesia, misalnya, meskipun lembaga pendidikan Islam memiliki akar tradisional yang kuat, ada kebutuhan mendesak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman yang terus berubah.


Proses ini, menurut Sztompka (2005), terjadi secara bertahap dan penuh tantangan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan ini, baik dari dalam (immanent change) maupun luar (selective contact change). Dalam hal ini, pendidikan Islam tidak hanya berhadapan dengan tantangan eksternal—seperti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi global—tetapi juga harus berjuang dengan pemahaman internal tentang bagaimana nilai-nilai Islam dapat tetap relevan dalam dunia modern.


Namun, apakah pendidikan Islam mampu beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan esensinya? Di sinilah kompleksitasnya. Seperti yang dikemukakan oleh Baudrillard, dunia pendidikan kini terjebak dalam simulasi—mencoba untuk meniru dan mereproduksi apa yang sudah ada tanpa memperhitungkan konteks lokal dan nilai yang terkandung di dalamnya.


Baudrillard menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, citra telah menggantikan realitas. Pendidikan Islam, dalam pandangan ini, sering kali terjebak dalam simulakra—upaya meniru pendidikan modern tanpa memeriksa kembali makna dan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dalam upayanya untuk mengikuti jejak sistem pendidikan barat, banyak lembaga pendidikan Islam yang menciptakan gambaran ideal tentang pendidikan yang modern, yang terkadang hanya sekadar replikasi dari model pendidikan yang ada.


Lebih lanjut, simulakra ini dapat dilihat dalam cara-cara lembaga pendidikan Islam merespons tuntutan zaman. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk mempertahankan tradisi, di sisi lain, ada dorongan untuk mengadopsi sistem modern. Namun, dalam proses tersebut, kita sering kali kehilangan keaslian dari sistem pendidikan Islam yang berbasis pada nilai-nilai luhur Al-Qur'an dan Hadits. Apa yang terjadi kemudian adalah sebuah hyperreality, di mana pendidikan Islam tidak lagi berada pada titik pertemuan antara tradisi dan modernitas, tetapi hanya menjadi sebuah bayangan atau salinan dari sistem yang lebih besar dan lebih kuat.


Respon Pendidikan Islam terhadap Modernisasi


Sebagai respons terhadap modernisasi, lembaga pendidikan Islam harus menemukan jalan tengah—di mana modernisasi bukanlah ancaman, tetapi peluang untuk menciptakan sistem yang lebih baik. Kelembagaan pendidikan Islam harus dapat menanggapi perubahan ini dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai dasar Islam, seperti yang digali dari Al-Qur'an dan Hadits, tanpa terjebak dalam upaya meniru sistem yang tidak sesuai dengan konteks keagamaan dan budaya lokal.


Hal ini akan melibatkan penataan kembali tujuan pendidikan Islam. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan manusia seutuhnya, yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana dalam menyelaraskan hidupnya dengan wahyu Ilahi. Sementara itu, tujuan sementara adalah untuk mempersiapkan individu agar mampu berkontribusi secara efektif dalam masyarakat yang semakin modern dan kompleks. Dalam konteks ini, pendidikan Islam perlu mengadopsi pendekatan yang lebih terbuka terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi


Dalam dunia yang semakin terhubung ini, lembaga pendidikan Islam harus beradaptasi dengan model sistem yang lebih kompleks dan terstruktur. Sebagai sistem, pendidikan Islam harus memanfaatkan teknologi dan infrastruktur modern untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya. Ini termasuk pengembangan kurikulum yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman, peningkatan kualitas pendidik yang berkompeten dalam berbagai bidang ilmu, serta pengelolaan administrasi yang lebih transparan dan profesional.


Namun, meskipun ada kebutuhan untuk beradaptasi dengan kemajuan zaman, lembaga pendidikan Islam tidak boleh kehilangan esensi dari identitasnya. Dalam proses modernisasi kelembagaan ini, ada tiga faktor yang harus diperhatikan: tujuan pendidikan yang jelas, masukan yang relevan, dan proses yang terorganisir dengan baik. Semua ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang terkandung dalam ajaran Islam, sehingga pendidikan Islam tidak hanya mencetak generasi yang cerdas, tetapi juga yang berakhlak mulia dan mampu mengemban tugas sebagai khalifah di muka bumi.


Menyikapi Tantangan Masa Depan


Di masa depan, lembaga pendidikan Islam akan terus dihadapkan pada tantangan untuk menyelaraskan tradisi dengan modernitas. Modernisasi kelembagaan pendidikan Islam tidak hanya berarti mengadopsi teknologi dan metode baru, tetapi juga menyelaraskan nilai-nilai Islam dengan kebutuhan global yang semakin terhubung. Pendidikan Islam harus mempersiapkan generasi yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global, tanpa kehilangan akar budaya dan agamanya.


Namun, dalam perjalanan ini, penting bagi kita untuk menyadari bahwa modernisasi tidak berarti mengabaikan tradisi. Sebaliknya, ia harus menjadi jembatan yang menghubungkan antara warisan budaya Islam yang luhur dengan dunia modern yang semakin kompleks. Dalam konteks ini, pendidikan Islam harus mampu menciptakan realitas baru—bukan hanya meniru apa yang telah ada, tetapi juga menciptakan model pendidikan yang relevan dengan tantangan zaman.


Sebagai sebuah lembaga, pendidikan Islam harus mampu menanggapi perubahan ini dengan bijaksana, menggali potensi manusia seutuhnya, dan tetap berpegang pada nilai-nilai yang tak lekang oleh zaman. Ini adalah tantangan terbesar dalam modernisasi kelembagaan pendidikan Islam: bagaimana tetap setia pada akar-akar ajaran Islam, sambil menjawab tuntutan dunia yang semakin berkembang dan berubah.


Dalam melihat masa depan pendidikan Islam, kita harus menghadapi kenyataan bahwa kita berada di tengah-tengah pergulatan antara tradisi dan modernitas. Pendidikan Islam, jika dikelola dengan bijaksana, dapat menjadi kekuatan yang tidak hanya mampu mengatasi tantangan zaman, tetapi juga memberikan kontribusi yang berarti dalam membentuk masa depan umat manusia. Oleh karena itu, modernisasi kelembagaan pendidikan Islam harus dipahami bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk memperkaya dan memperkuat sistem pendidikan Islam agar lebih relevan dan adaptif dalam menghadapi dunia yang terus berubah. Sehingga, pertanyaan Quo Vadis? tidak lagi menjadi keraguan, melainkan titik tolak untuk menuju masa depan yang lebih baik.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now