Oleh:
Syamsul Kurniawan
Pendidikan
Islam adalah pondasi fundamental dalam membentuk individu yang memiliki
keseimbangan antara dimensi spiritual dan rasional. Namun, seperti halnya
seluruh entitas sosial lainnya, pendidikan Islam tak lepas dari dinamika
perubahan sosial yang menuntutnya untuk bertransformasi. Di tengah derasnya
arus modernisasi, pertanyaannya adalah: Quo Vadis? Ke manakah arah
kelembagaan pendidikan Islam yang kini tengah berhadapan dengan tantangan
zaman?
Perubahan
sosial, seperti yang telah dipahami dalam banyak teori sosial, adalah hal yang
alamiah. Ia melibatkan pergeseran dalam struktur dan fungsi sosial, termasuk
dalam pendidikan. Modernisasi adalah salah satu wajah perubahan sosial yang
paling kentara. Meskipun modernisasi sering kali diidentikkan dengan kemajuan
Barat, ia bukanlah sekadar westernisasi. Modernisasi memiliki daya tarik
universal untuk mencapai tujuan bersama—kemajuan sosial, ekonomi, dan
budaya—tanpa harus menanggalkan identitas dan tradisi lokal. Lalu, di mana
posisi lembaga pendidikan Islam dalam proses ini?
Jean
Baudrillard, dalam karyanya tentang Simulacra and Simulation (1994),
menyoroti bagaimana dalam masyarakat postmodern, realitas telah digantikan oleh
citra atau simulasi. Dalam konteks pendidikan Islam, simulasi ini bisa dilihat
sebagai upaya untuk meniru sistem pendidikan modern tanpa mengadaptasinya
dengan nilai-nilai agama. Baudrillard menulis tentang hyperreality,
sebuah kondisi di mana dunia nyata dan dunia buatan (simulasi) saling
bercampur, menciptakan suatu realitas yang lebih menarik dan terpersepsi
daripada realitas itu sendiri. Di sinilah masalah muncul: lembaga pendidikan
Islam sering terjebak dalam upaya meniru model pendidikan modern, tanpa
memahami hakikat dan esensi dari perubahan itu sendiri.
Modernisasi: Dari Pinggiran ke Pusat
Modernisasi
sebagai proses sosial menggambarkan gerakan dari sesuatu yang tradisional
menuju pola-pola kemajuan yang modern. Piotr Sztompka, dalam teorinya tentang
modernisasi, menunjukkan bahwa perubahan ini tidak hanya bersifat linier,
tetapi juga memiliki ketidakpastian. Masyarakat yang kurang modern harus
beradaptasi dengan pola modern yang dibangun di negara-negara industri. Namun,
adaptasi ini tidak selalu mulus. Di Indonesia, misalnya, meskipun lembaga
pendidikan Islam memiliki akar tradisional yang kuat, ada kebutuhan mendesak
untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman yang terus berubah.
Proses ini,
menurut Sztompka (2005), terjadi secara bertahap dan penuh tantangan. Ada
berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan ini, baik dari dalam (immanent
change) maupun luar (selective contact change). Dalam hal ini, pendidikan Islam
tidak hanya berhadapan dengan tantangan eksternal—seperti perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan ekonomi global—tetapi juga harus berjuang dengan
pemahaman internal tentang bagaimana nilai-nilai Islam dapat tetap relevan
dalam dunia modern.
Namun,
apakah pendidikan Islam mampu beradaptasi dengan perubahan tanpa kehilangan
esensinya? Di sinilah kompleksitasnya. Seperti yang dikemukakan oleh
Baudrillard, dunia pendidikan kini terjebak dalam simulasi—mencoba untuk
meniru dan mereproduksi apa yang sudah ada tanpa memperhitungkan konteks lokal
dan nilai yang terkandung di dalamnya.
Baudrillard
menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, citra telah menggantikan realitas.
Pendidikan Islam, dalam pandangan ini, sering kali terjebak dalam
simulakra—upaya meniru pendidikan modern tanpa memeriksa kembali makna dan
tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dalam upayanya untuk mengikuti jejak sistem
pendidikan barat, banyak lembaga pendidikan Islam yang menciptakan gambaran ideal
tentang pendidikan yang modern, yang terkadang hanya sekadar replikasi dari
model pendidikan yang ada.
Lebih
lanjut, simulakra ini dapat dilihat dalam cara-cara lembaga pendidikan Islam
merespons tuntutan zaman. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk mempertahankan
tradisi, di sisi lain, ada dorongan untuk mengadopsi sistem modern. Namun,
dalam proses tersebut, kita sering kali kehilangan keaslian dari sistem
pendidikan Islam yang berbasis pada nilai-nilai luhur Al-Qur'an dan Hadits. Apa
yang terjadi kemudian adalah sebuah hyperreality, di mana pendidikan
Islam tidak lagi berada pada titik pertemuan antara tradisi dan modernitas,
tetapi hanya menjadi sebuah bayangan atau salinan dari sistem yang lebih besar
dan lebih kuat.
Respon Pendidikan Islam terhadap Modernisasi
Sebagai
respons terhadap modernisasi, lembaga pendidikan Islam harus menemukan jalan
tengah—di mana modernisasi bukanlah ancaman, tetapi peluang untuk menciptakan
sistem yang lebih baik. Kelembagaan pendidikan Islam harus dapat menanggapi
perubahan ini dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang nilai-nilai dasar
Islam, seperti yang digali dari Al-Qur'an dan Hadits, tanpa terjebak dalam
upaya meniru sistem yang tidak sesuai dengan konteks keagamaan dan budaya
lokal.
Hal ini
akan melibatkan penataan kembali tujuan pendidikan Islam. Tujuan akhir
pendidikan Islam adalah untuk mewujudkan manusia seutuhnya, yang tidak hanya
cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana dalam menyelaraskan hidupnya
dengan wahyu Ilahi. Sementara itu, tujuan sementara adalah untuk mempersiapkan
individu agar mampu berkontribusi secara efektif dalam masyarakat yang semakin
modern dan kompleks. Dalam konteks ini, pendidikan Islam perlu mengadopsi
pendekatan yang lebih terbuka terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi
Dalam dunia
yang semakin terhubung ini, lembaga pendidikan Islam harus beradaptasi dengan
model sistem yang lebih kompleks dan terstruktur. Sebagai sistem, pendidikan
Islam harus memanfaatkan teknologi dan infrastruktur modern untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitasnya. Ini termasuk pengembangan kurikulum yang lebih
relevan dengan kebutuhan zaman, peningkatan kualitas pendidik yang berkompeten
dalam berbagai bidang ilmu, serta pengelolaan administrasi yang lebih
transparan dan profesional.
Namun,
meskipun ada kebutuhan untuk beradaptasi dengan kemajuan zaman, lembaga
pendidikan Islam tidak boleh kehilangan esensi dari identitasnya. Dalam proses
modernisasi kelembagaan ini, ada tiga faktor yang harus diperhatikan: tujuan
pendidikan yang jelas, masukan yang relevan, dan proses yang terorganisir
dengan baik. Semua ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang
terkandung dalam ajaran Islam, sehingga pendidikan Islam tidak hanya mencetak
generasi yang cerdas, tetapi juga yang berakhlak mulia dan mampu mengemban
tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Menyikapi Tantangan Masa Depan
Di masa
depan, lembaga pendidikan Islam akan terus dihadapkan pada tantangan untuk
menyelaraskan tradisi dengan modernitas. Modernisasi kelembagaan pendidikan
Islam tidak hanya berarti mengadopsi teknologi dan metode baru, tetapi juga
menyelaraskan nilai-nilai Islam dengan kebutuhan global yang semakin terhubung.
Pendidikan Islam harus mempersiapkan generasi yang mampu berperan aktif dalam
masyarakat global, tanpa kehilangan akar budaya dan agamanya.
Namun,
dalam perjalanan ini, penting bagi kita untuk menyadari bahwa modernisasi tidak
berarti mengabaikan tradisi. Sebaliknya, ia harus menjadi jembatan yang
menghubungkan antara warisan budaya Islam yang luhur dengan dunia modern yang
semakin kompleks. Dalam konteks ini, pendidikan Islam harus mampu menciptakan realitas
baru—bukan hanya meniru apa yang telah ada, tetapi juga menciptakan model
pendidikan yang relevan dengan tantangan zaman.
Sebagai
sebuah lembaga, pendidikan Islam harus mampu menanggapi perubahan ini dengan
bijaksana, menggali potensi manusia seutuhnya, dan tetap berpegang pada
nilai-nilai yang tak lekang oleh zaman. Ini adalah tantangan terbesar dalam
modernisasi kelembagaan pendidikan Islam: bagaimana tetap setia pada akar-akar
ajaran Islam, sambil menjawab tuntutan dunia yang semakin berkembang dan
berubah.
Dalam
melihat masa depan pendidikan Islam, kita harus menghadapi kenyataan bahwa kita
berada di tengah-tengah pergulatan antara tradisi dan modernitas. Pendidikan
Islam, jika dikelola dengan bijaksana, dapat menjadi kekuatan yang tidak hanya
mampu mengatasi tantangan zaman, tetapi juga memberikan kontribusi yang berarti
dalam membentuk masa depan umat manusia. Oleh karena itu, modernisasi
kelembagaan pendidikan Islam harus dipahami bukan sebagai ancaman, melainkan
sebagai peluang untuk memperkaya dan memperkuat sistem pendidikan Islam agar
lebih relevan dan adaptif dalam menghadapi dunia yang terus berubah. Sehingga,
pertanyaan Quo Vadis? tidak lagi menjadi keraguan, melainkan titik tolak
untuk menuju masa depan yang lebih baik.***