Kepemimpinan profetik yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, tidak bisa dipisahkan dengan fungsi
kehadirannya sebagai pemimpin spiritual dan sosial di komunitas sosial
masyarakatnya. Prinsip dasar kepemimpinan profetik beliau adalah keteladanan. Dalam
kepemimpinan profetiknya, Nabi Muhammad Saw mengutamakan uswatun hasanah, yaitu pemberian contoh kepada para sahabatnya yang
dipimpin. Rasulullah SAW memang mempunyai kepribadian yang sangat agung untuk
diteladni, seperti yang digambarkan dalam al-Qur‘an: “Dan Sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam akhlak yang
agung.” (QS al-Qalam: 4).
Berdasarkan
firman Allah Swt di atas, menunjukkan bahwa ia memang mempunyai kelebihan yaitu
berupa akhlak yang mulia, sehingga dalam hal memimpin dan memberikan teladan
memang tidak lagi diragukan. Keteladanan Nabi Muhammad Saw ini telah dijamin
oleh Allah Swt melalui firman-Nya di dalam Al Qur’an yang berbunyi: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al Ahzab, 21)
Kepemimpinan
profetik Nabi Muhammad SAW ini relevan diteladani oleh umatnya (yang beragama Islam)
maupun di luar agama Islam. Kepemimpinan profetik yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Saw mengindikasikan pentingnya menumbuhkan sifat amanah dan tanggung
jawab yang tidak hanya bisa dipertanggungjawabkan kepada anggota-anggota yang
dipimpinnya, tetapi juga bisa dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt.
Merawat esensi
Berikut
adalah esensi kepemimpinan profetik, bahwa pertanggungjawaban kepemimpinan tidak
hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat
vertikal-moral, yaitu tanggung jawab kepada Allah Swt di akhirat. Seperti sudah
diuraikan sebelumnya di atas, Nabi Muhammad Saw pernah bersabda: “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan
setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya” (HR Bukhari).
Maka
tanggung jawab kepemimpinan sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyenangkan,
tetapi merupakan tanggung jawab sekaligus amanah yang amat berat dan harus
diemban sebaik-baiknya. Hal tersebut dijelaskan dalam Al Qur‘an, yaitu: “Dan
orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji mereka
dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka Itulah orang-orang yang akan
mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Mukminun 8-11)
Selain
dalam Al Qur‘an, Nabi Muhammad Saw juga mengingatkan dalam haditsnya agar dapat
menjaga amanah kepemimpinan, sebab jika tidak hal itu akan membawa kehancuran.
Penjelasan tersebut dijelaskan dalam Hadits beliau: “Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran. (Waktu itu)
ada seorang sahabat yang bertanya, apa (indikasi) menyia-nyiakan amanah itu ya
Rasul? Beliau menjawab: “Apabila suatu perkara diserahkan orang yang bukan
ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya” (HR. Bukhari).
Dari
penjelasan QS al-Mukminun: 8-11 dan hadits di atas dapat diambil suatu benang
merah bahwa dalam ajaran Islam seorang pemimpin harus mempunyai sifat amanah,
karena seorang pemimpin akan diserahi tanggung jawab. Jika pemimpin tidak
memiliki sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan
wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Oleh karena itu, dalam perspekjtif kepemimpinan
profetik, kursi kepemimpinan sebaiknya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk
menguasai, tetapi justru dimaknai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus
diemban sebaik-baiknya.
Selain
bersifat amanah seorang pemimpin harus mempunyai sifat yang adil. Hal tersebut
ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmannya sebagai berikut: "Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS al- Nisa’: 58)
Di
ayat lainnya, disebutkan: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil Pelajaran.” (QS. al-Nahl: 90)
Berdasarkan
perspektif kepemimpinan profetik, kepemimpinan adalah sebuah amanah yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya, dengan penuh tanggung jawab, profesional dan
keikhlasan. Sebagai konsekuensinya pemimpin harus mempunyai sifat amanah,
profesional dan juga memiliki sifat tanggung jawab. Kepemimpinan bukan
kesewenang-wenangan untuk bertindak, tetapi kewenangan melayani untuk mengayomi
dan berbuat seadil-adilnya. Kepemimpinan adalah keteladanan dan kepeloporan
dalam bertindak yang seadil-adilnya. Kepemimpinan semacam ini hanya akan muncul
jika dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.
Sebagai
penutup tulisan ini, Nabi, Muhammad Saw adalah profil pemimpin yang layak untuk
diteladani. Segala macam kualitas yang dibutuhkan untuk tampil sebagai figur
kepemimpinan berhimpun pada pribadinya. Kita dapat mencatat umpamanya beberapa
hal persyaratan yang telah dimiliki beliau: satu, shiddiq
(jujur).
Kejujuran
ini sangat melekat dalam kepribadian Nabi Muhammad Saw. Baik kepada dirinya
maupun pada para sahabat-sahabatnya, ia selalu mengedepankan kejujuran. Dalam
perspektif kepemimpinan profetik, sikap jujur ini hendaknya dipunyai oleh
seorang pemimpin. Dua, amanah (bisa dipercaya).
Karakter ini juga melekat dalam kepribadiannya.
Dalam hal apapun, ia tidak pernah terlintas dalam niat dan perbuatannya untuk
melakukan kecurangan. Suatu hal yang menurut penulis sangat memprihatinkan. Tiga,
tabligh (menyampaikan yang benar). Nabi Muhammad
Saw tidak pernah menyembunyikan informasi yang benar apalagi untuk kepentingan
umat dan agama. Tidak pernah sekalipun beliau menyimpan informasi berharga
hanya untuk dirinya sendiri. Empat, fathanah (cerdas).
Kecuali ketiganya ini, karakteristik kepemimpinan yang melekat pada profil Nabi
Muhammad Saw adalah cerdas. Dengan kecerdasannya, ia mengetahui dengan jelas
apa akar permasalahan yang dia hadapi serta tindakan apa yang harus dia ambil
untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada umat. Cerdas, bukan berarti “sok
cerdas”. Walaupun Nabi Muhammad Saw tergolong pemimpin yang cerdas dan
berwawasan yang luas, namun Nabi Muhammad Saw tidak meninggalkan musyawarah dan
diskusi dengan para sahabatnya dalam memutuskan suatu perkara yang rumit.
Bahkan lebih dari itu, terkadang ide orang lain bahkan ide musuh-musunya kalau
dianggap baik beliau mengambilnya.
Berkaitan dengan kecerdasan Nabi
Muhammad Saw, ada satu cerita tentangnya yang relevan untuk saya kemukakan. Diceritakan dalam sejarah Islam,
suatu ketika bangsa Quraisy
berselisih tentang siapa yang mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar
Aswad ke tempatnya. Mereka berselisih sampai empat atau lima hari. Perselisihan
ini bahkan hampir menyebabkan pertumpahan darah. Abu Umayyah bin Al-Mughirah
Al-Makhzumi kemudian memberikan saran kepada mereka agar menyerahkan keputusan
kepada orang yang pertama kali lewat pintu masjid. Bangsa Quraisy pun
menyetujui ide ini. Allah SWT kemudian menakdirkan bahwa orang yang pertama
kali lewat pintu masjid adalah Nabi Muhammad SAW. Orang-orang Quraisy pun ridha
dengan diri beliau sebagai penentu keputusan dalam permasalahan tersebut. Nabi Muhammad SAW pun kemudian
menyarankan suatu jalan keluar yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh mereka. Bagaimana
jalan keluarnya? Beliau
mengambil selembar selendang. Kemudian Hajar Aswad itu diletakkan di
tengah-tengah selendang tersebut. Beliau lalu meminta seluruh pemuka kabilah
yang berselisih untuk memegang ujung-ujung selendang itu. Mereka kemudian mengangkat
Hajar Aswad itu bersama-sama. Setelah mendekati tempatnya, Rasulullah SAW-lah
yang kemudian meletakkan Hajar Aswad tersebut. Ini merupakan jalan keluar yang terbaik. Seluruh kabilah setuju
dan meridhai jalan keluar ini. Mereka pun tidak jadi saling menumpahkan darah.
Dengan
empat karakteristik di atas, kita jadi mengerti kenapa seorang Nabi Muhammad
Saw yang ummi (tidak bisa membaca)
mampu menjadi seorang Nabi, Rasul, kepala keluarga, ayah, suami, imam shalat, pimpinan
umat, pimpinan perang menjadi sangat sukses dalam setiap hal yang beliau
geluti. Empat karakteristik kepemimpinan ini barangkali menjadi sesuatu yang
sekarang sangat langka, di negeri muslim sekalipun (termasuk: Indonesia).
Dibutuhkan untuk
menyelesaikan masalah
Modal
kepemimpinan profetik ini akan mengantarkannya pada tipikal pemimpin yang mampu
menyelesaikan masalah sebagaimana yang diperankan Nabi Muhammad Saw. Kemampuan
menyelesaikan masalah (problem solving) ini, menjadi bagian penting di dalam kepemimpinan profetik, yaitu
sebuah keterampilan berbentuk soft skill
(keterampilan lunak) dalam menyelesaikan masalah, yang pada umumnya bisa
didapat dari banyaknya “jam terbang” seseorang dalam memimpin, ditambah dengan
kematangan pemahamannya tentang manajemen resiko yang terintegrasi dengan hard
skill (keterampilan keras)nya. Namun yang jadi
persoalan utama di sini bukanlah bagaimana teori memecahkan masalah itu
sendiri. Akan tetapi, adalah memahami apa sih sesungguh-nya yang dinamakan
dengan problem (masalah)?.
Secara sederhana dapat kita pahami,
masalah adalah jarak yang membentang antara keadaan sekarang dengan tujuan yang
hendak dicapai. Semakin jauh jarak
antara “keadaan sekarang” dengan “tujuan yang hendak dicapai”, itu artinya
semakin banyak pula permasalahan yang sedang dihadapi. Dalam memecahkan masalah
(to solve the problem), seorang
pimpinan yang arif dan bijaksana, biasanya akan menggunakan langkah-langkah
antara lain sebagai berikut: satu, memahami masalah dan menentukan tujuan; dua, mengumpulkan
informasi yang relevan; tiga, mengidentifikasi alternatif-alternatif solusi
yang layak dan membuat estimasi yang realistis; empat, merumuskan
kegiatan-kegiatan yang akan ditempuh dalam menyelesaikan masalah; lima, mengevaluasi
setiap alternatif dengan menggunakan analisis sensitivitas untuk meningkatkan
akurasi; enam, memilih alternatif terbaik; tujuh, mengimplementasikan solusi
dan kemudian memonitoring hasilnya.
Dalam mendefinisikan masalah, seorang pimpinan, apakah itu Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati, Anggota Dewan, dan seterusnya perlu memahami bagaimana bergerak mengatasi masalah dari tingkat sistem ke subsistem dan menganalisis bagian-bagian sistem menurut suatu urutan masalah tertentu. Dalam memecahkan masalah ini, seorang pimpinan mengidentifikasi berbagai solusi altenatif, mengevaluasinya, memilih yang terbaik, menerapkannya, dan membuat tindak lanjut untuk memastikan bahwa solusi itu berjalan sebagai mana mestinya. Dalam perspektif kepemimpinan profetik, kesemuanya dilakukan dengan adanya komitmen pertanggungjawaban yang sifatnya tidak hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertikal-moral, yaitu tanggung jawab kepada Allah Swt di akhirat.
Di tahun politik ini, kita tentu mendamba munculnya profil-profil pemimpin yang memiliki karakteristik kepemimpinan profetik selayaknya Nabi Muhammad Saw. Walaupun tidak sesempurna Nabi Saw, namun setidaknya rekam jejaknya mencontohkan semua perbuatan baik, dan padanya berhimpun komitmen untuk selalu menjauhkan diri dari melakukan perbuatan buruk.***