Hal ini bisa kita mafhumi, bahwa dengan
saling memahami antar satu dengan yang lain, akan terwujud kehidupan yang
harmonis. Sebaliknya, tanpa kesediaan untuk saling memahami antara satu dengan
yang lain, umat Islam yang hidup di tengah-tengah kondisi multikultural
tersebut rentan terhadap konflik kekerasan. Hal ini karena konflik muncul,
seringnya dari situasi ekslusifitas, intoleransi, siap merasa benar sendiri,
bereaksi secara berlebihan dalam merespon persoalan, dan termasuk mengedepankan
kekerasan dalam mengatasi persoalan yang ada. Maka, sebisa mungkin
kecenderungan ke arah yang demikian ini bisa diminimalkan (Muzakkir, 2018, hlm. 96)
Dalam konteks masyarakat Indonesia, kondisinya sangat multikultural, terutama dari suku dan budaya yang dimilikinya, walaupun mayoritasnya berdasarkan perhitungan statistik memeluk ajaran agama Islam. Kondisi yang sangat multikultural ini jika tidak berhasil dikelola dengan baik, seperti yang telah disinggung, jelas rentan memicu konflik. Konflik seyogyanya adalah sesuatu yang alamiah. Hanya saja, konflik menjadi masalah serius manakala ia berlangsung kontraproduktif dan mengarah pada kekerasan dan bahkan anarkis. Kasus konflik kekerasan di Ambon, Poso, Sanggau Ledo, Sambas, Sampit, dan lain-lain pada akhir 1990-an dan jelang tahun 2000-an, adalah contoh bahwa bangsa ini rentan terhadap konflik kekerasan dan bahkan anarkis, dan sekaligus menyiratkan pentingnya pendidikan multikultural.(Mahfud, 2008, hlm. xix)
Pendidikan multikultural, mestinya bisa
dibangun dari potensi-potensi budaya Indonesia yang banyak, dalam pengertian
memberi tempat dan hak bagi budaya-budaya tersebut dalam pendidikan untuk
berkembang, diwariskan, dan dikomunikasikan kepada peserta didik. Harapannya,
pada peserta didik muncul kesadaran multikultural, yang mana dengan terbitnya
kesadaran tersebut, antar budaya bisa saling berinteraksi, saling melengkapi
dan mengisi satu dengan yang lain. Unsur-unsur dari kebudayaan lokal yang
berbeda-beda ini, oleh agen-agen terdidik dari hasil pendidikan multikultural
akan merawatnya sehingga menjadi kebudayaan nasional dan memperkayanya. (Muzakkir, 2018, hlm. 97–98)
Menimbang kondisi pendidikan di tanah
air saat ini yang kurang mengadaptasikan kebutuhan multikulturalisme, maka
pembaruan model pendidikan jelas menjadi sangat penting. Dengan pembaruan model
pendidikan, pendidikan lebih adaptif dalam mengatasi persoalan-persoalan
kekinian dan sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Tujuan pendidikan pun dengan
demikian bisa dibuat beririsan dengan kebutuhan tersebut. Demikian pula
pembaruan pendidikan ke arah model pendidikan multikultural, diharapkan mampu
untuk mengatasi persoalan-persoalan kekinian dan sejalan dengan kebutuhan
masyarakat, termasuk salah satunya dalam meredam konflik. Sebab ada keyakinan
bahwa melalui model pendidikan multikultural, membentuk pengetahuan, sikap dan
perilaku peserta didik sehingga lebih inklusif terhadap kondisi masyarakatnya
yang multikultural.(Muzakkir, 2018, hlm. 102)
Peluangnya di Madrasah
Dalam konteks madrasah sebagai wadah
tempat di mana multikulturalisme disosialisasikan kepada peserta didik, yang
tentunya mesti sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, sumber ajarannya mesti
dari ayat-ayat Al-Qur‘an, Hadits, dan tafsiran-tafsiran ulama. Namun, tugas
mensosialisasikan multikulturalisme ini pada peserta didik, selayaknya tidak
bisa dilimpahkan begitu saja kepada guru mata pelajaran tertentu, melainkan
pada semua guru yang ada di madrasah tanpa terkecuali, dalam pengertian
nilai-nilai dari multikulturalisme bisa terintegrasi dan terinterkoneksikan
pada mata pelajaran apapun yang diberikan kepada peserta didik. Kecuali itu,
juga penting guru-guru mengajak peserta didik mendiskusikan isu-isu seputar
multikulturalisme, dan menjadi teladan dalam bersikap yang sejalan dengan
multikulturalisme. Maka, selayaknya guru tidak lagi menunjukkan sikap yang
tidak memerdekakan peserta didik, seperti dengan menunjukkan sikap menghargai
gagasan peserta didik dan mengapresiasi kreatifitas apapun yang selama itu baik
dari mereka.
Menurut Muzakkir (2018: 105) guru-guru
perlu memerdekakan peserta didik, mengapresiasi gagasan dan kreatifitas mereka
yang baik, sehingga mereka merasa dihargai dan diperlakukan sebagai sosok yang
amat dibutuhkan saat mereka menempuh pendidikan. Guru-guru penting sekali
memberikan penguatan agar pengalaman belajar yang mereka peroleh bisa
dikonstruksi sejalan dengan kebutuhan multikultural.
Hakikatnya, model pendidikan
multikultural adalah model pendidikan yang mengakui dan menghargai keragaman.
Kaitannya dengan ini, ada dua prinsip yang mesti diperhatikan dalam memperbarui
model pendidikan ke arah modelnya yang multikultural: pertama, adanya dialog
dalam prosesnya. Mustahil pendidikan multikultural diberikan, sementara dalam
prosesnya tidak ada sama sekali dialog. Dengan dialog, maka peserta didik
belajar untuk menerima perbedaan, mengakui serta memahaminya, dan bahkan
berbagi perbedaan dengan sesamanya. Kedua, Toleransi. Toleransi adalah sikap
mengakui dan menerima perbedaan yang ada. Baik dialog dan toleransi ini, kedua
prinsip ini mesti ada pada model pendidikan multikultural. Bila dialog itu
bentuknya, maka toleransi adalah isinya. Toleransi jelas diperlukan tidak saja
pada ranah konseptual-teoritis, tetapi juga mesti teknis operasional-praktis.
Kecenderungan inilah yang sering diabaikan dalam sistem pendidikan nasional
kita di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pula di madrasah.(Syafiq A Mughni dalam: Mahfud, 2008, hlm. xiv)
Tentu saja ini gampang-gampang susah
bagi madrasah, sebab ini berarti madrasah mesti mengorientasikan program apapun
untuk kebutuhan multikulturalisme yang tidak mengesampingkan prinsip dialog dan
toleransi dalam pengimplementasiannya. Berdasarkan prinsip ini, setidaknya ada lima
karakteristik yang akan ada dari modelnya: pertama, belajar hidup dalam
perbedaan; kedua, membangun tiga aspek mutual (mutual trust, mutual
understanding, dan mutual respect); ketiga, terbuka dalam berpikir;
keempat, adanya apresiasi dan interdependensi; dan kelima, adanya pengalaman
belajar seputar resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan.(Muzakkir, 2018, hlm. 107–109).
Kesadaran multikultural jelas merupakan
bekal penting bagi peserta didik yang belajar di madrasah, agar mereka
menghargai perbedaan, mengapresiasi perbedaan tersebut dengan tulus, bersikap
dan berperilaku komunikatif dan terbuka dengan sesamanya, dan tidak saling
curiga. Model pendidikan multikultural di madrasah, juga selayaknya mengajarkan
peserta didik menampilkan wajah agama yang moderat dan ramah. Sehingga dalam
konteks mereka sebagai pemeluk Islam, mereka menghargai kemajemukan dan
menjalin kebersamaan.(Ali, 2008, hlm. 99–100)
Terakhir, model pendidikan
multikultural perlu terimplementasikan di madrasah, apalagi mengingat posisi
madrasah yang sama pentingnya dengan sekolah dalam sistem pendidikan nasional.
Model ini mesti dilihat sebagai bagian dari ikhtiar untuk meminimalkan konflik
kekerasan di tengah-tengah kita di masa-masa mendatang. Sebab, walaupun
hasilnya tidak instan, tetapi model pendidikan multikultural sangat menjanjikan
untuk mengatasi masalah tersebut. Seperti telah penulis singgung di muka,
bangsa ini memiliki memori konflik berdarah-darah di masa lalu yang
berlatarbelakang masalah etnis dan agama. Singkat kata, penulis ingin mengaris
bawahi, bahwa konflik serupa bisa saja berulang, jika kesadaran multikultural
ini luput dibangun di lembaga-lembaga pendidikan kita, termasuk madrasah.***
Bahan Bacaan
Ali, M. (2008). Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Kompas.
Mahfud, C. (2008). Pendidikan
Multikultural. Pustaka Pelajar.
Muzakkir. (2018). Perspektif Islam
Tentang Pendidikan Multikultural. Inspiratif Pendidikan, 7(1),
96–112. https://doi.org/10.24252/ip.v7i1.4937