Sebagaimana diungkap oleh Pierre Bourdieau (1977), habitus merupakan nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan terkondisikan melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama dan kemudian mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap dalam diri atau karakter seseorang tersebut. Habitus seseorang yang begitu kuat akan mempengaruhi tubuh fisiknya, dan ketika begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik yang disebut sebagai hexis.
Bandul semakin menjauh
Seyogyanya, jika kita cinta
Indonesia, mencintai produk-produk buatan anak bangsa hendaknya bisa menjadi
habitus kita. Bukan saja pada konteks industri fashion, melainkan dalam
industri apapun. Karena siapa lagi yang akan mencintai produksi dalam negeri
kalau bukan kita bangsa Indonesia. Dengan mencintai produk dalam negeri kita
telah ikut memajukan perekonomian sekaligus membangun negara kita. Apalagi kalau
mau objektif soal kualitas, “made in Indonesia” jelas tidak kalah dengan “made
in luar negeri”. Karena itu kenapa harus mempersepsikan made in luar negeri
jauh lebih baik daripada made in dalam negeri.
Ada banyak produksi dalam negeri yang tidak kalah dengan produk luar, meski tidak dimungkiri produk dalam negeri itu kalah tenar dengan barang luar sementara ini. Contoh, sejumlah kosmetik buatan dalam negeri tidak kalah mutu dan kualitasnya. Untuk itu, kesadaran masyarakat mencintai produk sendiri perlu ditumbuhkan. Sosialisasi tentang cinta pada produksi dalam negeri perlu terus-menerus dikampanyekan. Apalagi saat ini Indonesia tengah dibanjiri merek-merek dagang luar negeri. Tambahan lagi, masyarakat Indonesia seperti terikat menggunakan merek-merek dagang luar negeri.
Tak usah repot-repot untuk membuktikan asumsi ini. Saat penulis berkesempatan mengunjungi sebuah daerah perbatasan Indonesia- Malaysia di Kalimantan Barat, masyarakat mengkonsumsi beras, gula, dan lain-lain buatan impor negara tetangga. Padahal belum tentu produk impor ini aman dan layak konsumsi. Berbagai produk impor bisa saja tidak aman bagi kesehatan. Dengan kata lain merek tidak bisa menjamin kualitas.
Kecuali itu, tidak hanya penting dikampanyekan, perasaan cinta produk-produk anak bangsa ini perlu dididikkan sejak dini pada siswa-siswa di sekolah. Hal ini terutama karena sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, sudah semestinya bertanggung jawab menanamkan kecintaan siswa pada Indonesia. Mendidik siswa sehingga cinta Indonesia seharusnya merupakan bagian dari program pendidikan karakter di sekolah. Apalagi ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yang mengisyaratkan pentingnya pendidikan karakter.
Kelemahan
Mari merenungi petikan pidato
Sukarno pada HUT Proklamasi 1966, “Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah,
kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa
penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini
asalnya adalah rakyat gotong royong.” Sebelumnya pada Pidato HUT Proklamasi
1963 Soekarno juga mengatakan, “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan
dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang
merdeka.”
Tidak salah apa yang dikritisi
oleh mendiang Sukarno melalui pidatonya tersebut. Hal ini juga seturut dengan
ajaran trisakti yang juga pernah diutarakannya, yang mana bangsa kita harus
memiliki identitas dan harus memilki kepribadian rasanya harus dibangun
kembali, suatu konsekuensi bangsa yang tidak memiliki identitas, adalah selalu dipandang
sebelah mata, selain berakibat ketergantungan.
Perjuangan kita saat ini sudah bukan lagi dengan mengangkat senjata, bergerilya, dan berunding sana-sini, seperti pada masa Bung Karno atau pejuang-pejuang kemerdekaan kita dulu, namun masih banyak bentuk perjuangan lain yang dapat kita lakukan untuk memaknai kemerdekaan dan menunjukkan nasionalisme kita. Bangsa ini tidak akan pernah maju, kalau generasi bangsa ini tidak mau peduli. Bangsa ini tidak akan besar kalau generasi bangsa ini tidak punya kreativitas, dan bangsa ini tidak akan berkembang kalau generasi bangsa ini masih ketergantungan dengan produk luar negeri.
Kini saatnya kita harus merubah sikap, merubah pandangan dan merubah pola pikir. Bagaimana kita harus menjadi negara yang maju, seperti yang juga sudah dialami oleh bangsa-bangsa lain seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Jangan lagi kita ketergantungan dengan kedelai luar negeri lagi, beras Malaysia, Thailand atau Vietnam, serta berbagai peralatan elektronik dari Amerika, Jepang, maupun Korea. Demikian pula dalam soal pakaian, merek lokal tidak kalah bagusnya dibandingkan merek luar. Batik buatan luar negeri jelas dapat kita banggakan.
Saatnya kita bangkit. Itulah cita-cita yang pernah ditumbuhkan generasi bangsa ketika meneriakan reformasi. Usia reformasi sudah berjalan 20 tahun, namun kita belum beranjak keluar dari persoalan krisis ekonomi. Persoalannya adalah, karena kita kalah bersaing dan kita sendiri masih mencintai produk luar negeri. Untuk itu, mari kita mulai mencintai produk dalam negeri.
Tidaklah dapat dipungkiri, sejumlah merek terkenal luar negeri telah masuk ke Indonesia. Ditambah lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN telah diberlakukan. Barang luar negeri dapat dengan mudah kita dapatkan, meski harganya mungkin relatif tinggi. Tak dimungkiri pula memakai barang-barang luar bisa jadi hanya sebatas gengsi dan biar dikatakan keren, meski belum dapat dipastikan barang yang dipakai punya kualitas yang bagus dan terjamin mutunya. Seperti paparan di atas, merek lokal belum tentu kalah kualitasnya jika dibandingkan dengan merek luar.
“Jangan tanya apa yang negara bisa berikan padamu, tapi, tanyakanlah apa yang kamu bisa berikan pada negaramu”. Begitulah kutipan yang dipopulerkan Presiden John F Kennedy, sahabat Presiden Bung Karno, suatu ketika. Sementara Bung Karno dalam Suluh Indonesia Muda, 1928 mengatakan begini: “Dan dengan lebih teguh keyakinan kita, bahwa nasib kita ada di dalam genggaman kita sendiri…; dengan lebih teguh keinsyafan kita, bahwa kita harus percaya akan kepandaian dan tenaga kita sendiri.”****